Pergantian Presiden, perubahan politik di pusat dan interest politik yang menyertainya ikut menentukan persoalan ini. Berbagai tafsir yang berbeda dan penuh wasangka dihembuskan oleh kalangan birokrasi di pusat.
Pasal-pasal fundamental dalam UU No.21/2001 Otonomi Khusus Papua dilihat mereka sebagai akan melapangkan jalan bagi kemerdekaan Papua. Majelis Rakyat Papua (MRP), sebagai representasi proteksi terhadap orang asli, telah dicurigai sebagai superbody, sehingga PP tentang MRP baru dikeluarkan setelah beberapa tahun kemudian.
Menyangkut masalah lambang kultural orang Papua, yakni bendera dan lagu yang diatur pada Pasal 2 UU Otsus Papua belum juga disetujui oleh peraturan daerah khususnya. Malah ketika digelar dalam sebuah musyawarah adat pada awal bulan ini, dianggap sebagai bagian dari makar.
Pemanggilan terhadap para pengurus Dewan Adat Papua merupakan bukti bahwa kriminalisasi UU Otsus itu semakin terasa. Stigma separatis tiada lekang terhadap masyarakat adat/asli Papua, dan justru makin menguat. Daerah ini kembali diisolasi dari mata dunia ketika Senator Eni Feleomavega anggota Kongres AS yang ingin merasakan langsung kondisi Papua sebagai ”tanah damai”, tidak diperkenankan ke Papua.
Secara sistematis UU Otsus Papua dikepung dengan berbagai peraturan dan perundang-undangan yang kontroversial, sehingga UU tersebut semakin terpencil dan tidak berdaya dalam mengangkat martabat hidup dan status orang Papua yang telah berintegrasi dengan Indonesia sejak tahun 1969 melalui sebuah proses penentuan nasib sendiri atau “act of free choice”.
Masalah dimulai ketika proses penentuan nasib itu justru tidak mengikuti klausul Perjanjian New York secara konsisten sehingga banyak terjadi pemaksaan, penyiksaan dan pembunuhan (Laporan Tim Khusus penyelidikan pelanggaran HAM era Suharto, 2003).
Berhenti di Birokrasi
Selama lebih dari 40 tahun hidup dalam pendekatan pembangunan yang cenderung represif telah membangkitkan kekuatan kultural untuk mengemukakan aspirasi memisahkan diri secara damai dalam era reformasi. Menanggapi ini, UU Otsus diterbitkan sebagai jalan tengah supremasi hukum dalam penyelesaian konflik politik.
Namun tidak berapa lama, Undang-Undang tersebut dikepung dengan Inpres No.1/2003 tentang Pembentukan Propinsi Irian Jaya Barat (kini Papua Barat) mengacu kepada UU no.45/1999 yang secara fakta hukum tidak sesuai dengan spirit UU Otonomi Khusus Hirarki hukum mestinya menjadi acuan pemekaran provinsi.
Masalah berikut adalah ketika diberlakukan juga UU No.32/2004 tentang otonomi daerah dan pemekaran kabupaten/kabupaten kota di mana menjadi tandingan penerapan UU Otsus untuk pemekaran daerah kabupaten/kabupaten kota. Aparat daerah dibingungkan karena kekacauan hukum ini menjebak mereka ke dalam bad governance (tidak accountable dalam kebijakan dan penggunaan dana). Euforia pemekaran wilayah tidak diimbangi dengan kajian dan pemberdayaan kapasitas serta protokol pertimbangan khusus Majelis Rakyat Papua sebagaimana yang diatur dalam UU Otsus Papua.
Hal yang sangat memprihatinkan adalah ketika peraturan daerah (Perda) tentang pengaturan dana Otsus belum mengacu penuh pada spirit undang-undangnya, karena masih mengacu kepada Peraturan Mendagri. Perda Khusus dan Perda Provinsi yang dibutuhkan sekitar 30-an demi mengefektifkan UU Otsus, baru 6 yang diterbitkan.
Maka pelaksanaan Otsus sesuai semangat UU mengalami pelambanan dan tidak mempunyai kekuatan. Dana Otsus belum sepenuhnya berpihak kepada rakyat, lebih banyak berhenti pada meja birokrasi (Laporan kajian UNIPA tentang APBD 2006). Konsekuensi logis dari situasi ini adalah banyak rakyat menderita karena tidak terjangkau pembangunan yang adil, manusiawi dan bermartabat. Bandingkan dengan Aceh yang belakangan menerapkan status Otsus yanng beberapa klausul terbaiknyanya mengadaptasi Otsus Papua.
”Affirmative Action”
Rakyat Papua yang melalui Otsus seharusnya mendapat proteksi, pemberdayaan dan keperpihakan untuk mengejar ketertinggalan, kini harus terpuruk ke dalam jebakan kekacauan hukum. Energi mereka pun terkuras untuk memprotes dan mengkritik sikap pemerintah pusat yang tidak konsisten.
Otsus bukan lagi sebuah solusi, melainkan menjadi masalah baru. Protes dan penolakan terhadap Otsus mulai muncul secara keras dan label “separatis” telah terlanjur diberikan bagi masyarakat asli Papua baik personal yang kritis maupun institusi seperti Dewan Adat, juga gereja dan berbagai organisasi masyarakat lainnya (Laporan Penelitian Mabes POLRI dan Lembaga Penelitian Universitas Trisakti 2006).
Label tersebut telah mengaburkan dan memperkeruh nurani setiap aparat yang dengan kasat mata dapat menyaksikan betapa pulau yang kaya akan sumber daya alam seperti emas, timah, gas, minyak, hutan dan hasil laut bahkan penyumbang oxygen terbesar kedua di dunia ini terpuruk dalam kemiskinan struktural.
Angka kematian ibu dan bayi tertinggi di kawasan Asia (20% dari 1000 kelahiran) angka HIV dan AIDS secara proporsional tertinggi di Indonesia (hampir 3000 kasus dari total sekitar 8000 kasus terlaporkan di 31 propinsi di Indonesia), daerah dengan kantong kemiskinan tertinggi terutama pada kawasan-kawasan yang dicurigai sebagai basis OPM di daerah pegunungan dan kepala burung (60 % dari total 1,5 juta penduduk asli).
Laju pertambahan penduduk asli yang semakin melamban dan mengarah ke punah (pada saat integrasi 1969, jumlah penduduk 800.000 seimbang dengan PNG, kini penduduk asli Papua 1,5 juta, sementara PNG sudah 6 juta). Mestinya kita sadar dan mengerti bahwa setelah pemencilan hak politik, kini telah terjadi pemencilan hak ekonomi, sosial dan budaya yang bermuara pada marginalisasi hukum UU no.21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua ini.
Sesuai semangat UU Otsus itu, proteksi melalui affirmative action dan partisipasi rakyat Papua asli yang terwakili dalam kelompok adat, agama dan perempuan, dan berbagai kelompok masyarakat asli seharusnya ditangani dengan jelas, adil dan bermartabat. Ini juga untuk membuktikan bahwa negara Indonesia melindungi dan mensejahterakan segenap warganya.
Moga-moga rencana pembangunan berbasis kampung yang dicanangkan Gubernur Papua Barnabas Suebu dan new deal Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui Inpres pencepatan pembangunan Papua betul-betul menghormati supremasi UU Otsus Papua, artinya dalam semangat proteksi, pemberdayaan dan keperpihakan kepada rakyat Papua, bukan bagi para investor.
Bila tidak, Otsus Papua semakin lumpuh dan doktrin NKRI sebagai alat pemelihara persatuan dan nasionalisme Indonesia akan menuju kepada ironi bahwa disintegrasi justru dilakukan sendiri oleh negara.
Penulis adalah rohaniwan, Sekretaris Umum Solidaritas Nasional untuk Papua, Steering Committee Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika.
1 komentar:
Salam kasih buat saudarakau sebangsa dan setanah air....
Bunda Pertiwi memiliki anak bangsa dengan segenap kebudayaannya beraneka ragam..semuanya cantik dan tampan. wahai saudaraku di Papua sana. Perjuangan eksistensi kehidupanmu adalah perjuangan kita bersama untuk duduk sejajar di negeri ini. Segala UU Negara yang "memenjarakan" hakekat kebebasan kita sebagai manusia dan bangsa adalah "haram untuk ditaati. Kontrak sosial kita adalah satu bansga yamng Bhinneka Tungal Ika, Bukan Satu Bangsa dan Satu Kekuasaan Birokrat. Tapi ingat, perjuangan kita buykan untuk bercerai berai, karena itu akan menjadikan "kita semua" sebagai Bangsa Indonesia lemah dimata dunia dan hanya akan menjadi santapan 'Hiu-Hiu' samudra dunia. Perjuangan eksistensi budaya dan haka-hak kebangsaan dan kemanusiaan kita adalah untuk kebersamaan dan keragaman.. doaku dan cintaku untuk Saudara-Saudarakau di Papua dan Irian sana.. Peace !!
Posting Komentar