"blessed for all who get wisdom from my stories"

Kamis, 27 Desember 2007

Benazir......


"We believe democracy alone can save Pakistan from disintegration and a militant takeover.”
(To take full advantage of Flickr, you should use a JavaScript-enabled browser andinstall the latest version of the Macromedia Flash Player.)


Tepat di Hari Ulang Tahunku 27 Desember 07, Benazir Bhuttho dibunuh, perempuan perkasa yang cerdas itu berjuang dengan melepaskan perisai dan ketopong keselamatan diri, dia kembali menerobos barikade perjuangan demokrasi yang memang sangat berbahaya dan mengancam jiwanya.......tanpa memakai pakaian anti peluru, padahal ia sangat menyadari bahwa ia merupakan target utama kelompok militer yang selama ini menjadi dinasti pembunuh ayahnya Zulfikar Ali Bhutto. Sedih membayangkan betapa "perempuan" menjadi sangat ditakuti ketika ia merebut hak publiknya......dan kekerasan serta pembunuhan merupakan taruhan para lelaki itu...
selamat jalan Benazir......

Menjadi Orang Biasa di HARI NATAL




Menjadi Orang "Biasa" di Hari Natal sungguh sesuatu yang istimewa bagiku kali ini. Artinya aku tidak menjadi seorang "Pendeta" yang secara formal harus memimpin kebaktian, memimpin sejumlah seremonial Natal yang sering menguras seluruh energi kita bahkan sensitifitas kemanusiaan kita. Pada tanggal 25 Desember 07 ini aku tidak memasuki satu gereja pun...dan orang-orang mulai beropini miring bahwa aku telah menjadi seorang kafir atau tidak ikut dalam persekutuan sukacita Natal............ngebayang nggak ada seorang pendeta yang nggak nyentuh gereja dan perayaan Natal...dan hanya di rumah mencoba membuka semua kisah Alkitab, mendalami kisah Natal dengan membuka buku tafsiran dan mencoba menapak tilas sejarah perayaan Natal 25 Desember dan Ephifania pada 6 Januari nanti......................Riwayat perayaan Natal yang heboh 25 Desember adalah adaptasi dari perayaan "Pohon Cemara" yang disembah karena tidak pernah mati dalam 4 musim di Eropah khususnya di Germany, di mana pohon tersebut dihiasi dengan berbagai hiasan. Ketika kekristenan masuk ke Germany ditransformasikan menjadi hari kelahiran Yesus oleh seorang penginjil yang kemudian dibunuh. Pengikutnya kemudian meneruskan tradisi ini dan memperkenalkannya ke daerah-daerah penginjilan di seluruh dunia termasuk Indonesia yang dikenal sebagai hari "Damai yang Besar" dengan simbol "Pohon Terang" atau dikenal sebagai pohon Natal. Di daerah Balkan seperti Rusia dan sekitarnya, pada zaman dahulu Natal malah dirayakan pada tanggal 6 Januari, yang dikenal dengan "Sol in Victus", perayaan kemenangan Matahari yang tidak pernah terkalahkan dengan musim dingin yang dahsyat, pada saat itu Matahari tersebut menampakan diri sebagai pemenang musim dan disembah, di kemudian hari ditransformasikan sebagai Hari kelahiran Yesus yang dirayakan sebagai Tahun Baru atau Epifania atau penampakan harapan. Lalu dari teks kritik Alkitab, kisah yang asli hanyalah kisah Maria dan Elizabet, kisah sensus penduduk Bethlehem dan kelahiran darurat Yesus lalu tambahan yang diredaksionalkan ulang adalah kisah Gembala di padang, dan Kisah 3 orang majus dari Timur yang dalam kitab non-kanonika Injil Masa Kecil versi Armenia mereka disebut 3 raja bersaudara dari Timur yang masing-masing bernama: Melchior dari daerah Persia, Beltzazar yang berasal dari India serta Gasper yang berkuasa atas negeri Arab.Kelahiran Yesus yang merupakan peristiwa pengungsian biasa di daerah Yudea untuk sensus penduduk menjadi penting dan istimewa ketika sekitar 33 tahun kemudian terjadi peristiwa penyaliban besar yang merupakan Kejahatan kemanusiaan terhadap Yesus dan para pengikutNya. Oleh karena itu Natal tidak pernah akan bermakna tanpa peristiwa penyaliban Yesus yang kemudian diberi pemaknaan PASKAH karena kebangkitanNya...... Pada abad yang lebih modern makna natal yang berisi 'berbagi kasih dan kepedulian bagi sesama' itu diberi ceritera fabel tentang Saint Nicolas yang baik hati menempuh daerah bersalju dengan mengendarai kereta salju yang ditarik oleh rusa-rusa kutub sambil terbang melintasi udara tengah malam untuk menjumpai anak-anak yang baik perilakunya dan yang hidup dalam kemiskinan untuk berbagi "pemberian natal" inilah tradisi tentang Santa Klaus yang berbagi hadiah natal melalui cerobong asap. Ceritera ini kemudian dilanjutkan dengan tradisi menggantung kaus kaki pada malam menjelang Natal, atau menaruh sepatu di depan pintu (bila tidak turun salju) berisi rumput, akan diganti dengan hadiah oleh Santa Klaus. Di Negeri Belanda kemudian menambahkan seorang "Piet Hitam" yang kejam berjalan dengan karung dan sapu lidi untuk mengamankan anak-anak yang dalam setahun itu nakal.

Lalu bagaimana dengan kita di Indonesia?? ini kontemplasi Natalku.....mengundurkan diri dari hingar bingar perayaan dan meluruskan kembali pemahaman, perenungan dan apresiasi iman dengan menjadi orang di luar lingkaran kebaktian dan perayaan itu, menjadi orang biasa di hari Natal. Mencoba merasakan betapa rakyat di sekeliling Jakarta hidup dalam kekhawatiran banjir dan bencana lainnya, bayangkan daerah Muara Baru sudah terendam hampir 6 bulan dan belum ada suatu tindakan yang memadai kecuali membiarkan mereka terendam, di daerah lain bencana tanah longsor dan banjir serta angin puting beliung. Kemiskinan masih mewarnai kehidupan rakyat karena korupsi, pelanggaran HAM tidak terselesaikan, nasionalisme tercabik karena sentimen agama (Ahmadiah dll) dan etnik, HIV dan AIDS,Narkoba makin tinggi dan kekerasan dalam rumah tangga makin mencuat karena tinggi 77% pelaku kekerasan terhadap istri adalah suami, kekerasan terhadap anak...dan penderitaan lainnya. Berita Natal macam apa yang akan kita aplikasikan dalam konteks seperti ini?? masih beranikah kita melantunkan "Joy to The Worl","Malam Kudus", "Damai di Bumi"....dan serangkaian himne Natal yang agung dan indah itu.......sanggupkah lagu-lagu itu menggugah kepedulian dan kemanusiaan kita? ataukan justru membuat kita "mati rasa"....

Rabu, 19 Desember 2007

RELIGIOUS FACISM IN INDONESIA

It is true, that in Indonesia now the religious people frighten us. Currently,especially how they express the uncivilized behaviour to Moslem Ahmadiah congregation in West Java. Now We are appeal to Bloggers community for solidarity concern :
Over 1000 peoples who claim themself as The Rightly Moslem, came to Kuningan, West Java, Indonesia and attacked the Ahmadyiah Congregations:
8 houses being burnt, 2 Mosques of Ahmadyiah being destroyed,7 peoples injured,while women and children conggregation refuged.
This is the old story of religious facism in Indonesia since the burning of more than 500 churches in Java, religious based conflict between Moslem and Christian in Ambon,Indonesia, and another partial religious base conflict.
Negotiation with the police still going on but one of the police commander said if The Moslem Leader from central headquarter decide that this is not the renegade group, police will guard the survivors.
It means that police will not take the security action if those congregation are the renegade people of Moslem......
In Indonesia now, the religious facism is growing and developing, particularly among the religious mayority group and transforming the talibanism behaviour......and the civilian conflict is beginning.

Minggu, 02 Desember 2007

Menembus Batas Positif dan Negatif HIV dan AIDS



Renungan HARI AIDS SE- DUNIA 1 DESEMBER 2007:

Tanggal 1 Desember 2007 adalah Hari AIDS se-dunia. Hari di mana semua orang diingatkan tentang ancaman HIV dan AIDS terhadap kehidupan manusia, bahkan telah menghancurkan tatanan kehidupan sebagian besar penduduk dunia saat ini.
HIV dan AIDS kini memasuki gelombang yang cukup bergolak di Indonesia seiring dengan gelombang-gelombang krisis kehidupan masyarakat lainnya. Bila gelombang-gelombang krisis yang lain dapat muncul ke permukaan, maka HIV dan AIDS lebih bergolak di bawah permukaan krisis itu sendiri. Bagaikan siluman pembunuh yang tiba-tiba saja menerpa kehidupan seseorang bila ia tidak hati-hati dengan perilakunya serta tidak memahami dengan benar bagaimana cara penularan dan penceghannya. Indikatornya adalah bahwa jumlah kasus yang terlaporkan makin meningkat khususnya pada daerah-daerah yang terlaporkan, sementara daerah-daerah yang tidak terlaporkan luput dari penanganan komprehensif, kecuali menggelar program-program reaktif yang sifatnya ujicoba atau hanya berhenti pada program jangka pendek pencegahan saja. Data terakhir per September 2007 seluruh Indonesia menunjukan angka yang mulai besar 10384 kasus dengan daerah penularan tertinggi antara lain DKI Jakarta sekitar 4000 kasus lebih dan Papua terlaporkan terakhir 3377 per juni 2007 kasus

Terapi Anti Retrovirus
Terapi Anti Retroviral adalah upaya untuk menekan jumlah virus HIV dalam tubuh khususnya menahan pengembang biakan virus secara ketat melalui intervensi kombinasi beberapa tablet antiretrovirus. Terapi ini merupakan sebuah peluang bagi mereka yang jumlah sel pertahanan tubuhnya sebagian besar sudah digerogoti oleh HIV dan cenderung sudah masuk pada periode AIDS. Sebuah peluang hidup apabila terapi ini cocok bagi kondisi seseorang yang harus juga dibarengi dengan disiplin tinggi mengkonsumsi beberapa jenis tablet seumur hidup. Dengan demikian periode hidup dengan HIV tanpa gejala penyakit dapat diperpanjang dan mereka dapat hidup seperti orang biasa dengan mentaati sejumlah disiplin kesehatan termasuk di dalamnya kehidupan seksual dengan memakai pengaman atau kondom. Dari pengalaman pendampingan, banyak masyarakat yang telah hidup dengan HIV dan AIDS yang mendapat terapi ini akan hidup lama tanpa gejala penyakit meskipun virus itu tetap bercokol dalam tubuh dan risiko penularannya cukup tinggi. Itu berarti terapi Anti-Retrovirus perlu disertai dengan kesadaran untuk menjaga diri merka agar tidak menularkan atau ditularkan kembali oleh virus HIV ini.

Mereka yang hidup dengan HIV
Banyak masyarakat masih menganggap bahwa mereka yang hidup dengan HIV dan AIDS adalah manusia-manusia yang hidupnya tidak bermoral. Sehingga persoalan HIV dan AIDS dihubungkan dengan moral, dosa dan kutukan. Akibat ekstrim dari anggapan ini adalah berbagai cap negatif dan diskriminatif terjadi atas para perempuan pekerja sex, kaum transjender dan transseksual, dan kelompok marginal lainnya. Fakta mengungkapkan bahwa mereka yang hidup dengan HIV dan AIDS adalah masyarakat yang juga memiliki norma-norma kehidupan yang baik, terbanyak pada kelompok pasangan laki-laki dan perempuan yang dikatakan pasangan normal. Ada beberapa kelompok utama yang hidup dengan HIV dan AIDS: Kelompok yang mendapatkan virus HIV melalui hubungan kelamin yang tidak aman artinya yang berisiko penularan karena berganti pasangan seksual sehingga mengalami berbagai penyakit kelamin, kelompok yang mendapatkannya melalui pemakaian jarum suntik yang tidak steril atau bekas terpakai orang lain, teman atau pasangan yang telah hidup dengan HIV(terutama pemakai narkoba suntik), kelompok masyarakat lugu yang mendapatkannya dari pasangan mereka atau dari orang tua mereka (perempuan dan bayi), dan kelompok yang mendapatkannya melalui transfusi darah serta penanganan medik dan kosmetik yang tidak steril melalui alat tusuk dan alat potong yang terkontaminasi.
Kelompok tertular HIV ini berasal dari semua kalangan, karyawan, ibu rumah tangga dan anak balita, pegawai negeri, swasta, agamawan, militer, kepolisian, selebritis, olahraga, aktivis, mahasiswa, pelajar, wartawan, dan sebagainya. Melihat jumlah masyarakat yang sudah terpapar virus ini makin meningkat dan tidak dapat ditanggulangi secara tuntas maka tentunya jumlah masyarakat yang hidup dengan HIV seumur hidup makin meningkat dan meluas. Itu berarti hampir di semua bidang kehidupan sudah ada orang yang hidup dengan HIV dan AIDS. Suatu kenyataan yang tidak dapat terhindarkan. Pada umumnya mereka merupakan angkatan kerja baik di kantor, dalam pelayanan publik, pelayanan masyarakat secara umum, maupun pelayanan khusus seperti pelayanan keagamaan, dan mereka yang masih menempuh pendidikan. Beberapa tahun belakangan kelompok yang jumlahnya mulai meningkat adalah penularan berbasis keluarga artinya suami, istri dan anak bersama-sama sudah hidup dengan HIV.

Mensiasati Kebijakan Penanggulangan HIV dan AIDS yg mempertimbangkan masalah sosial-kemanusiaan.

Kebijakan pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS yang telah dikeluarkan oleh Komisi Penanggulangan HIV dan AIDS Nasional antara lain bagaimana mendorong pelibatan institusi masyarakat kunci dalam mencegah dan menanggulangi pewabahan HIV seperti ketahanan keluarga, kelompok agama, kelompok pemberi kerja baik pemerintahan, swasta, pendidikan dan pegiat pelayanan jasa publik lainnya. Penanganan intensif pada kelompok yang paling berisiko seperti para pemakai narkoba suntik, para perempuan pekerja seks dan kelompok risiko lainnya. Sayangnya konsentrasi penyelesaian persoalan HIV dan AIDS masih bermuara pada masalah penanganan klinis sehingga masalah sosial kemanusiaan belum tersentuh secara komprehensif misalnya bagaimana menyelesaikan persoalan diskriminasi di tempat kerja, pemutusan hubungan kerja sepihak, akses dan kehilangan mata pencaharian karena dianggap tidak layak bekerja. Persoalan yang perlu diberantas adalah sikap stigma dan diskriminasi terhadap mereka yang hidup dengan HIV dan AIDS. Masih banyak yang mengalami pemecatan dari tempat kerja, pengucilan oleh keluarga dan masyarakat setempat bahkan dari komunitas keagamaannya, dan penolakan terhadap para pelamar pekerjaan yang dengan jujur mengaku bahwa mereka telah berstatus positif HIV. Hal yang sangat brutal adalah masih terjadi pembunuhan terhadap orang yang dicurigai hidup dengan HIV dan AIDS seperti pembakaran hingga meninggal di salah satu propinsi pada beberapa bulan lalu yang kasusnya ditutupi. Meskipun di lain pihak muncul harapan yang sangat positif yakni adanya keinginan beberapa perusahaan swasta besar di Indonesia untuk peduli namun dalam penerapan kepedulian itu bukan hanya persoalan alokasi dana tetapi juga diharapkan mereka berani mempelopori kebijakan yang tidak mePHKkan karyawan yang hidup dengan HIV, bahkan bersedia menerima karyawan dengan status positif HIV tetapi yang mempunyai kompotensi professional yang layak. Hal ini berkaitan erat dengan para siswa lulusan berbagai sekolah menengah dan perguruan tinggi yang sebagian sudah positiv HIV dan mencari pekerjaan, apakan mereka akan diterima di tempat kerja jika ternyata mereka sudah hidup dengan HIV? Mengingat hampir 85 % mereka yang hidup dengan HIV dan AIDS adalah para remaja dan angkatan kerja produktif. Hal lain yang perlu mendapat perhatian kita adalah hampir semua perusahaan asuransi khususnya asuransi jiwa dan kesehatan masih menolak mereka yang hidup dengan HIV dan AIDS.Kebijakan ini sangat menyakitkan, padahal antara status positiv HIV dan status negatif HIV kini tingkat produktifitas tidak berbeda. Mereka sama sama memiliki kemampuan untuk memelihara kehidupan tanpa gejala penyakit dalam waktu yang panjang dan juga banyak yang mampu membayar premi sesuai aturan yang berlaku. Dengan demikian berbagai kebijakan yang menempatkan orang yang hidup dengan HIV dan AIDS seolah-olah sudah di ambang kematian dan merupakan orang-orang yang tidak berguna lagi harus dihapuskan dan disiasati menjadi kebijakan yang mengembalikan hak kehidupan mereka sama dan layak seperti mereka yang negatif HIV. Melalui kebijakan-kebijakan itu masyarakat perlu dibiasakan untuk hidup berdampingan secara normal, diperlakukan sama dalam hak dan kewajibannya sebagai warga negara dan warga masyarakat sambil membekali pengetahuan tentang HIV dan AIDS secara benar dan akurat. Dengan menembus batas status positif HIV dan negatif HIV, kita dapat memobilisasi kekuatan bersama untuk menanggulangi pewabahan virus HIV mematikan ini tanpa harus memangkas rasa kemanusiaan kita sebagai bangsa yang bermartabat dan beragama.

Memperkenalkan "RUMAH PHILIA"


Ide untuk membuat sebuah rumah persahabatan dan pendampingan HIV dan AIDS menjadi dasar bagi pengembangan pelayanan dari beberapa anak muda kreatif yang selama ini berkecimpung dalam pendampingan ODHA. Kata persahabatan merupakan ide awal ketika ternyata dapat menembus batas pergaulan dan kebersamaan dari mereka yang sudah positif HIV dan yang negatif HIV. Persahabatan ini mampu melahirkan kekuatan untuk saling memaknai hidup sebagai anugerah Tuhan yang pada gilirannya dapat menghadang pewabahan HIV dan AIDS dalam masyarakat tanpa harus mengucilkan dan memberi garis batas pergaulan keseharian.

Ide sederhana yang di mulai dari sebuah persahabatan kasih ini telah menginspirasikan berdirinya komunitas Rumah Philia. Kami memilih kata Philia yang dalam bahasa Yunani artinya persahabatan. Mengusung relasi kemanusiaan yang tulus meskipun penuh dengan keterbatasan namun bila dirangkai menjadi sebuah rantai persahabatan, akan melahirkan sebuah kekuatan luar biasa untuk saling mendukung, dan menguatkan dalam menghadapi tantangan dan pergumulan berat pewabahan HIV dan AIDS di Indonesia

Visi:
Kasih dan Solidaritas Allah bagi semua

Misi:
Menjalin persahabatan kasih antara mereka yang positif HIV dan yang negatif, maupun perbedaan lainnya.. menuju kehidupan yang lebih bermakna bagi sesama dalam masa pewabahan HIV dan AIDS


Kegiatan:

1.Pendampingan dan Atau Advokasi : Konseling untuk test
sukarela,pendampingan di RS dan Rumah, advokasi Hak Azasi
ODHA dan OHIDA
2.Pelatihan Partisipatif : Komunikator dan atau
Penyuluh,Pendampingan dan Konseling HIV dan AIDS, Buddy
atau Sahabat ODHA dan pendamping sebaya
3. Pengembangan Program bersama gereja : Penyadaran
partisipatif HIV dan AIDS, NAPZA, Jender, Kesehatan
Reproduksi, Seksualitas dan topik terkait; Penjangkauan dan
pengorganisasian kelompok peduli atau program “gereja
sahabat ODHA”
5. Kegiatan kreatif produktif: seni, craft, Event Organizer,dll.
6. Kegiatan Rohani: Doa dan diskusi iman
Target: Remaja dan Pemuda, Jemaat Gereja, Umum (khusus
pendampingan dan konseling) seJABODETABEK dan daerah
di luar P.Jawa sesuai permintaan
Pengurus:
Penasehat : Ibu P.Yewangoe, Christine Wahyuni,
Dr.Bram Simatupang,Bpk.Jhony Simanjuntak
Dr.Raflus Doranggi.

Crew Rumah Philia:
Pdt.Emmy Sahertian (Ketua), Isye Huliselan (Sekretaris), Yance Waruw (Bendahara),Mazda (Bendahara 1)
Divisi Pelatihan dan Pemberdayaan: Shinta, Pdt.Esma Nappoe
Divisi Pendampingan dan Pengembangan Jaringan: Ary dan Yoyarib
Relawan :Lala, Ivon, Rudy Mulia, Stevanus, Mely dan para relawan pemuda gereja yg ingin memadukan program secara voluntary.

Experts : Pelatih Pendampingan dan Konseling, Konselor VCT,
Dokter berpengalaman, Konsultan Program HIV dan
AIDS berbasis komunitas, Pegiat Hukum dan HAM
serta Aktivis dan Relawan berpengalaman


Motto:
”menembus batas Positif dan Negatif
melalui persahabatan kasih”

Sekretariat Sementara:

Jl.Pulo Asem Utara III no.1B
Jati Rawamangun, Jakarta Timur
Telp.: 62-21-98294335
e-mail: rumah_philia@yahoo.com
Web-blog:www.rumahphilia.blogspot.com
e-mail utk.chat-counseling:www.rumahphilia@gmail.com

Contact Person:
Isye :62-21-68485253
Sinta:081316008025

Sabtu, 10 November 2007

HARI PAHLAWAN


Aku merenung tentang fakta sejarah kepahlawanan Indonesia.......masak ia Bung Tomo belum digelar pahlawan.........


ini ada dua temanku yang rela menjelajah pedalaman Papua yang sulit itu untuk menyadarkan penduduk tentang ancaman HIV dan AIDS. .....dr.Helena dan Karen Smith......mereka juga bisa dibilang phlawan.....

Di Teluk Arguni dan Danau Siviki


Selama 3 minggu saya berada di desa Urisa Teluk Arguni di belakang Kaimana Papua, bersama lebih dari 100 pendeta Gereja Protestan di tanah Papua mengadakan Workshop HIV dan AIDS, Konvent dan diakhiri dengan pelatihan di Kaimana.
Bekesempatan bersampan menyusuri teluk menuju hulu teluk yang disebut Danau Siviki bak menyaksikan pentas alam yang luar biasa indahnya. Menghirup oxigen gratis yang bila diukur akan menjadi bahan carbon trading yang mahal itu. Bila ingin melihat kekayaan alam Papua datanglah ke hulu-hulu teluk selatan Papua dan kemudian merangkak ke punggung pegunungan tengah, anda akan berdecak kagum. Sayangnya penduduk pedalaman belum dapat menanggulangi tantangan penyakit malaria, tbc dan HIV dan AIDS. Gereja harus merobah paradigma pelayanan dari yang ritual center menjadi paradigma "menjumpai" mereka yang menderita di pedalaman. Hal ini menjadi salah satu hal yang dibahas. Pola "menjumpai" ini mestinya menjadi patron dari gaya pemerintahan yang selama ini masih berpusat pada "lord-center" warisan kolonial yang masih terpatri dengan mapan dalam kultur masyarakat. Hal ini bermuara pada persoalan hermeneutika jender yang salah dalam konteks budaya patriarkhat, dimana "manusia" yang disebut "tuan" yang selalu adalah "laki-laki" merupakan pusat dari semua pusaran kehidupan dan alam. Maka persoalan "menjumpai" dan "melayani" sesama merupakan hal yang tidak nyaman bagi mereka karena itu adalah pekerjaan perempuan...... pantas saja kehidupan manusia terbengkelai, meskipun alam sangat siap untuk mendukung kesejahteraan, dan keadilan bagi semua......pekerjaan besar bagi para rasul Tuhan ini. Komitmen untuk berpihak pada rakyat pedalaman papua melalui pemberdayaan ekonomi jemaat berbasis kampung (bukan ke kota), dan pengembangan kesehatan serta pendidikan bagi masyarakat di aerah terpencil kiranya dapat menjadi nyawa baru bagi program pemerintah....semoga

Rabu, 29 Agustus 2007

Beberapa Kisah Sedih di Wamena

HIV dan AIDS:Berbagi Kisah Sedih Di Wamena

Dalam sesi pelatihan ada sesi yang disebut sesi testimonial, berbagi kisah nyata dari lapangan:
Kisah sedih 3 orang perempuan yang diduga sakit AIDS di bakar di daerah pedalaman Wamena, dua lainnya bisa diselamatkan, Mereka menderita penyakit IMS, kini ditangani oleh para pendamping di Wamena, 3 orang perempuan yang dibakar itu sudah berada di surga bersama Yesus
Kisah sweeping atas nama ketertiban dan keamanan untuk kebersihan Wamena dari penyakit sosial, para pekerja sex ditangkap dan ditest HIV tanpa protap yang benar, 5 orang terjaring positif dan dideportasi ke Jayapura, satu di antaranya masyarakat asli, sekarang ditangani YPKM
Baru saja sore ini Raflus mengunjungi ODHA berumur 17 tahun yang asli masyarakat kampung dan perempuan....
ternyata sudah beberapa perempuan yang hidup dengan HIV yang dibakar, atau yang diciduk keluarganya dari RS untuk di buang............ sampai dengan saat ini belum ada laki-laki yang ditangkap dibakar, dibuang dan diapa apakan.....padahal merekalah yang paling banyak menjadi pelaku penularan juga carrier HIV... maka HIV merdeka beredar dan menikmati kebebasan sebebas bebasnya.....
Ini kisah sedihku dari pedalaman Papua.....



Berbagi Kisah di Barak Merah
Memasuki rumah petak bertembok dan agak gelap karena tertutup,kesannya seperti warung. Para PSK di sini pernah di ciduk dengan tuduhan penyebar HIV dan karena kebanyakan pendatang maka ada beberapa yang diperiksa paksa terbukti ada beberapa yang sudah tertular HIV. Mereka dimasukan dalam tahanan semalam karena ternyata tidak berKTP. Yang positif ditangani YPKM di Jayapura. Sementara yang tidak positif di lepaskan, dan ikut terciduk juga beberapa perempuan yang bukan pendatang namun telah dipulangkan ke rumah. Kebanyakan mereka datang dari lokalisasi Tanjung Elmo Jayapura dan mulai berumur. Sweeping PSK atas dorongan beberapa tokoh agama.... maka semakin seru ceriteranya. Mereka yang sebagian besar berasal dari Jawa Timur ini, kelihatan tertekan dan merasa terancam terutama setelah mengetahui bahwa ada teman yang sudah positiv HIV. Ternyata tidak semua PSK tertular HIV. Tuduhan bahwa ini gaya baru teroris yang akan memusnahkan etnik Papua, makin heboh,,,cenderung dipolitisir. Maka kambing hitam HIV kini semakin jelas dituduhkan kepada para PSK pendatang yang menurut dugaanku adalah korban jaringan perdagangan perempuan. Lalu bagaimana dengan para "mobiling men" yang melakukang pengembaraan seksual ke Jayapura,Sorong,Ujung Pandang,Jakarta,Singapura, Thailand dll????? mereka ada lebih ratusan orang yang terdiri dari para pejabat, para pengusaha, mereka yang berduit...
Aku memberikan sebuah pertanyaan reflektif kepada para peserta pelatihan : "Mengapa perempuan itu memilih menjadi PSK???" ndak usah dijawab sekarang, ndak usah juga mencari-cari alasan yang tidak berdasarkan fakta tetapi mereka harus pulang dan mengadakan kajian yang benar........MENGAPA????
Aku makin sedih dan trenyuh ketika ternyata ada ODHA yang sedang sakit parah ditangani YPKM ada yang masih SMP dan ada yang SMA, siswa Papua asli....siapa dan melalui apa mereka memperolehnya???? Salah satunya adalah anak salah seorang Gembala Umat...ini ironi Papua babak berikutnya setelah kemiskinan dan penindasan.
Sambil memandang puncak Piramida yang berselimut awan hitam aku berdoa moga-moga pelatihan ini bisa merupakan setitik kecil harapan....
Wamena semakin berhujan.. dan aku rindu pulang rumah karena anakku juga sudah pemuda berumur 19 tahun..Tuhan lindungilah dia


Berbagi Kisah di Jalanan pada Tengah Malam Dingin
Dari HAotel Baliem Pilamo, saya di jemput akitivis YPKM cab.Wamena bersama istrnya menelusuri Jl. Irian untuk cari makanan pinggirana jalan, sekaligus mengamati perilaku para pemuda dan pemudi yang mulai ramai. Sambil makan sate jualan Mas dari Jawa yg rambut cepak mataku tertuju kepada para remaja Wamena yang duduk dan berdiri bergerombol diantara mereka ada sekelompok anak jalanan yang duduk sambil berdiang, tampaknya sedang menikmati/menghirup secara sembunyi-sembunyi lem Aica-Abon yang sering membuat ketagihan itu. Seusai makan, kami berjalan menyusuri jalan yang panjang ini....lewat seorang lelaki mabuk, yang tiba-tiba membuka celananya dan buang air kecil di hadapan dua orang remaja putriawa ...waduh...kami semua sempat melihat penisnya.....dan semua orang tertawa.... kami juga menjumpai para remaja yang sedang kasmaran....akhirnya kami tiba di sebuah bar tertutup yang ternyata milik seorang pendatang yang menikah dengan perempuan Papua di mana Pekerja Seksnya kebanyakan perempuan asli Papua. Bangunan ini tidak terkesan mewah, bahkan seperti gudanng kayu yang tertututp rapat.Tapi di dalamnya, ada beberapa kamar kecil untuk tidur, banyak perempuan menghuni kamar-kamar tersebut. Tampaknya tempat ini adalah tempat transaksi lalu tempat pelayanan di luar di kota.
Dalam perjalanan kembali ke hotel, kami menyaksikan sepasang pemudi dan bapak-bapak setengah umur jalan dan tanpa sadar bapak tersebut menyodorkan uang ke tangan si remaja ini, lalu berpisah. Kami mengejar si remaja dan mengajaknya berjalan dengan cara yang menarik ala "aktivis HIV"...anak remaja perempuan ini berumur 15 tahun, putus sekolah klas 6 SD, dan sudah berhubungan sex di jalanan lebih dari 10 lelaki, dan yang tadi memberikan uang itu adalah gurunya semasa SD, hanya memberikannya Rp 5000,-.......
Byangkan gurunya memanfaatkan mantan muridnya........ini sekelumit kisah dari Wamena di waktu malam



Pelacur yang Disambiti
Sikap para pimpinan agama, KPAD Kab Jayawijaya, Kapolres tampaknya sangat keras menolak seorang PSK pendatang yang sudah dideportasi ke Jayapura yang ingin kembali ke Wamena untuk mengurus hutang-piutang dan barang-barangnya, perempuan ini benar2 sudah ditolak. Kisah Yesus dan Perempuan "pezinah" dalam Alkitabku kini berulang dalam bentuk yang lain. Ia telah ditulari HIV tentu oleh para lelaki yang tinggal di Wamena...dan lelaki-lelaki itu kini sedang asik menulari orang lain dengan bebasnya. Para lelaki Papua yang berkantung tebal yang sering melakukan pengembaraan sexual di daerah luar Wamena dan di luar Papua yang jumlahnya lebih dari ratusan orang ternyata tidak diperhitungkan sebagai penular berbahaya virus mematikan ini...mereka bebas melakukan penularan kepada istri-istri mereka, teman kencan mereka.. bahkan banyak yang sering bertandang ke barak-barak dan bar bar para Pekerja Sex.......dan menulari para perempuan ini.....wahai Wamena yang dingin dan exotic...janganlah kau sambiti pelacur itu karena matamu dan hatimu akan tertutup terhadap fakta bahwa yang berbahaya itu adalah para pelanggan dan para laki-laki pengembara sexmu......yang pasti terbanyak adalah orang asli Papua dan sebagian besar dari mereka sudah hidup dengan HIV.

Selasa, 07 Agustus 2007

Minggu, 05 Agustus 2007

Tulisan di SINAR HARAPAN, 5 April 2006





Papua, Trauma Politik, dan Budaya


Oleh Emmy Sahertian

Dua peristiwa menonjol tentang Papua, yakni pemberian suaka atas 42 (dari 43) warga Papua oleh Imigrasi Australia, dan tewasnya 5 aparat keamanan di Abepura dalam demonstrasi menuntut penutupan tambang emas PT Freeport, telah mencoreng reputasi Indonesia di mata dunia.
Warga Papua yang meminta suaka selalu dihubungkan dengan tokoh Papua Dr Thomas Wanggai yang berjuang membebaskan rakyat Papua dari ketertindasan sekitar tahun 1980-an. Kritiknya yang keras terhadap cara pemerintah Indonesia (Orde Baru) menebang hutan dan memberi izin pertambangan untuk bisnis segelintir konglomerat, menyebabkan dia dipenjarakan hingga meninggal tahun 1994 dalam tahanan. Pengikutnya meneruskan perjuangan. Banyak anggotanya ditangkap dan dipenjarakan. Sering tokoh intelektual, budaya, dan agama Papua menjadi target pembunuhan misterius karena diduga mendukung Organisasi Papua Merdeka. Sebut saja Arnold Ap, Daan Yairus Ramar, Theys Eluai, Pendeta Eliza Tabuni dan beberapa tokoh mahasiswa. Ke-43 warga Papua itu meminta suaka ke Australia, karena merasa tidak ada lagi tempat aman untuk hidup secara normal. Mereka itu merupakan puncak kecil gunung es dari besaran jumlah yang ada di bawah permukaan di mana banyak masyarakat Papua asli mengalami trauma politik sejak Pepera, dan Orde Baru yang terkenal dengan berbagai gelaran operasi militer dan operasi gelap intelijen. Semua ini menjadi ingatan kolektif atas penderitaan yang sering diistilahkan sebagai memoria passionis.

Tanah Adat
Seorang ibu Amungme berpakaian camping bertelanjang kaki duduk sambil mencuci kaki di tepi anak sungai Aykwa yang telah tercemar tailing tambang sambil meratap dalam bahasa Indonesia yang terbata-bata: "ayuu (aduh) ..dorang su ame (sudah ambil) kami pung (punya) mama pung kepala, semua sudah ancur (hancur) dan kami sedih..kami sakit hati". Ini merupakan ungkapan umum tiap orang Amungme, yang terkena dampak langsung eksplorasi PT Freeport Mac Moran. Lokasi gunung Estberg dan Grassberg tempat eksplorasi tembaga dan emas pada kontrak karya I dan II PT Freeport terdapat di atas konstruksi tanah adat Amungme yang disebut Ninggok atau kepala mama (tanah dipahami sebagai Ibu), wilayah yang paling sakral, tempat bernaung roh-roh suci pemberi keajaiban hidup untuk mensejahterakan anak-anak adat. Seluruh konstruksi perbukitan dan dataran ke arah selatan hingga pelabuhan dipahami sebagai tubuh ibu atau pengampu hidup yang mengukir identitas suku-suku pegunungan tengah. Apabila konstruksinya rusak ibarat pemusnahan sebuah identitas hidup yang nilainya sama dengan membunuh manusia adat, memerlukan rekonstruksi ritual maupun rekonservasi alam. Tampaknya pemahaman kultural ini tidak pernah dipertimbangkan baik dalam kontrak karya I dan Kontrak Karya II. Mereka memang memperoleh dana kompensasi 1%, setelah mama Yosepa Alomang, perempuan Amungme bersama sejumlah masyarakat adat di Mimika bangkit melawan Freeport dan Pemerintah Indonesia. Namun mereka begitu tersinggung ketika sadar bahwa kompensasi tersebut sebagai tindakan belas kasihan, bukan bagian share holder di mana pemahaman budaya sebagai anak ibu yang kepalanya sedang dibantai perlu dihargai setara mitra pemilik modal.

Dialog Nasional
Meskipun persyaratan sebagai share holder tentu tidak sesederhana itu. Kondisi yang lebih mengenaskan ketika tidak adanya upaya jeda eksplorasi dan eksploitasi untuk memperbaiki kondisi ekologik yang sudah rusak parah. Karena ibu (tanah suci) mereka telah terbantai, nafas kehidupan kultural mereka telah selesai dan mati. Apapun yang menjadi alasan semua pemilik modal, pemerintah, dan atau para pembela NKRI, untuk membenarkan tindakan ini, orang Papua telah tersinggung secara kultural. Mereka bangkit untuk merebut identitas diri yang telah hilang dengan cara apa saja, termasuk mempersoalkan rasa nasionalisme Indonesia apakah masih layak menyembuhkan luka budaya mereka atau sebaliknya telah menimbulkan trauma. Sebab berbicara tentang Papua adalah berbicara tentang sumber kekayaan alam berkualitas dunia, dan manusia Papua sebagai bagian integral dari alam yang berkualitas itu. Sebuah nilai yang ikut menentukan harga bangsa Indonesia di mata dunia. Untuk menyelesaikan dua masalah ini, gelar dialog nasional yang berbasis kultural merupakan tuntutan mendesak, jika benar bahwa kita adalah bangsa yang bermartabat.


Penulis adalah Sekretaris Solidaritas Nasional untuk Papua, Jakarta

Indonesia Tanah Airku: Impian Yang Mulai Hilang


Di lingkungan rumah mulai terasa masyarakat sedang mempersiapkan perayaan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Memoriku tentang perayaan ini sangat kuat dan moment masa kecil yang paling aku sukai selain Natal, maklum ketika masih tinggal di Kampung halamanku... inilah hiburan rakyat yang melibatkan semua umur serta ramai-ramai menghabiskam waktunya di lapangan Olah Raga, panjat pohon pinang dan berbagai permainan serta gelar pasar malam ala rakyat, ada yang di pentas seni, ada yang baris berbaris...pokoknya ramai sekali.
Ketika aku dewasa, setiap memasuki bulan Agustus, tak dapat aku sangkali bahwa perayaan itu merupakan nostalgia masa kecilku yang telah memberikan semangat heroik untuk mendaki setiap perjuangan hidupku yang sulit dengan baik...mungkin itu sumbangan yang telah merasuk hidupku hingga aku bisa bertahan, tegar dan kreatif bersisian langsung dengan iman kristiani yang sama-sama telah menjadi bagian dari tubuh dan jiwaku.....inikah yang disebut sebagai semangat kemerdekaan?... ketika semangat heroik itu menyentuh ruang kehidupan kita yang paling dalam yakni nurani maka seketika itu pula kita merasa bahwa hidup ini kita miliki secara utuh... bukan milik orang lain yang diberikan kepada kita.. lalu kita menjadi berani, kreatif dan terampil mengelola tantangan serta penderitaan menjadi sebuah keterampilan untuk hidup dan berkarya.....
Dari sini aku mulai merasa sedih.. bahwa dari pengalaman pendampinganku menunjukan bahwa banyak orang kehilangan semangat heroik itu, karena merasa bahwa hidup ini bukan milik mereka....hidup ini milik negara, milik tentara, milik konglomerat, milik pemegang saham, milik penguasa, milik orang kuat milik orang-orang yang tiran, dan lalu mereka yang tidak merasa memiliki hidupnya itu tidak mempunyai ruang untuk mengembangkan keterampilan hidup, tidak mempunyai keberanian untuk mengelola penderitaan dan kemiskinannya kecuali hanya pasrah untuk menerimanya... lalu ibarat menjadi penumpang atau pengikut pasrah dalam sebuah mobil yang sarat dan sering tergelincir ke sana kemari karena krisis keadilan, perdamaian dan ekonomi. Contohnya seperti pemulung di tempatku, bapaknya adalah pemulung dan ibunya bekerja sebagai pencuci pakaian, lalu ia tumbuh sebagai lelaki pemulung dan adik perempuannya kini menggantikan profesi ibunya sebagai pencuci pakaian. Ketika kami berdiskusi mereka bahkan mengatakan bahwa ini sudah takdir.. bahwa mengharapkan anaknya menjadi besar seperti Presiden Soesilo Bambang Yudoyono adalah hal yang mustahil...dan itu mimpi di siang bolong ...atau menjadi pemegang saham dari PT AQUA danone, yang bekas botol plastiknya dipulung untuk daur ulang pabrik... bagi dia adalah hal yang mustahil.. karena inilah takdir mereka hidup sebagai pemulung... bayangkan berapa banyak orang Indonesia yang seperti ini... bahkan untuk bermimpi meraih bintang pun sudah tidak mampu bahkan dihindari... karena ruang-ruang mimpi itu telah dibajak habis-habisan dan dirampok dari mereka sejak dikandungan ibu .....
aku masih ingat ketika aku masih di TK, sebagai anak perempuan kecil miskin yang ke sekolah dengan kaki telanjang tetapi bangga memegang bendera merah putih...sebuah simbol yang merasuk diriku untuk berani bermimpi...aku bermimpi bahwa satu hari kelak aku harus sampai di Jakarta...kota Negara yang menurutku waktu itu adalah kota impian perantau untuk menjadi orang "besar".. sebuah impian mustahil bagi kami yang hidup di daerah terpencil dan miskin. Lalu kepercayaanku atau imanku kemudian membuka ruang yang luas untuk impian itu menjadi nyata melalui ungkapan-ungkapan iman seperti " Bila imanmu sebesar sebiji sesawi maka kamu bisa memindahkan gunung batu itu"....atau kata-kata "mintalah maka akan diberikan"....atau kata-kata "jangan takut..Aku menyertaimu sampai keakhir zaman"....juga seabrek makanan rohani praktis tiap hari yang mendorongku untuk tidak menerima nasib begitu saja. Lalu di mana rasa heroik itu kini.... sebuah perasaan yang disambut dalam ruang iman untuk mendorong seseorang mengembangkan diri dengan rendah hati dn bijak menelusuri zaman yang berobah ini.....
Ada apa di Indonesia ini?? ketika semakin banyak rakyat kehilangan rasa percaya diri untuk mewujudkan impiannya yang kian tersembunyi dan terpencil jauh dikedalaman lubuk hati???
lalu berlindung di balik ungkapan TAKDIR kemiskinan dan kemelaratan baik mental, pisik, sosial maupun spiritual???? inilah apa yang disebut sebagai penindasan yang paling kejam yakni tertutupnya ruang berpikir dan berperasaan untuk orang bermimpi dan mewujudkannya secara kreatif dan terampil...
Waduh ....ini penggalan Lagu "Indonesia Raya" kita yang paling berkesan (Hormatku kepada Bpk. Wage Rudolf Supratman, Pencipta):
Indonesia Tanah Airku, Tanah Tumpah Darahku
Di sanalah Aku Berdiri, Jadi Pandu Ibuku.....
.
Aku sendiri udah tidak berani meneruskan syairnya yang berikut.....karena itu mimpi-mimpi yang hilang.... tanah dan hutan udah mulai hilang, pulau-pulau mulai habis, rasa kebangsaannya dan persatuannya mulai dipertanyakan......
tapi....dalam kesedihan ini aku masih bangga pada Indonesiaku....bahwa tidak ada satu manusia pun di dunia ini yang menyangkal akan keindahan pantai, laut dan, hutan, gunung yang biru menghijau serta keberagaman budaya serta spiritualitasnya... sebuah surga bagi ziarah kehidupan....

Bintang Kejora





Menanggapi Kontroversi Bentangan Bintang Kejora
Dr Phil Erari

Ketika sebuah group budaya Papua, mementaskan suatu karya seni pada penutupan Kongres Dewan Adat Papua, 6 Juli lalu, bendera dengan lambang Bintang Kejora dibentangkan. Pesan di balik bentangan itu, tidak lain, sebagai jawaban atas pertanyaan seorang anak mengapa ayahnya dan dan orang sekampungnya mati dibunuh. Kepada anak itu, dijawab bahwa karena Bintang Kejora itu, maka ia telah kehilangan mereka yang ia sayangi.
Aparat penegak hukum serta merta menanggapi karya seni itu sebagai unjuk separatisme oleh para pelaku sendratari, pihak penyelenggara Kongres Dewan Adat dianggap berbuat makar. Menanggapi reaksi yang sedemikian, kita butuhkan suatu persepsi sosial yang jernih, dengan tidak memandang sendratari bintang kejora itu dengan kaca mata keamanan, apalagi menstigmanya secara hitam putih sebagai aksi makar dan separatisme. Seharusnya, kita menggunakan pisau bedah analisis sosial politik yang tepat dengan konteks jelas. Cara pandang penuh kecurigaan sudah tak lagi pas di era ini. Khusus buat Papua, di era Otonomi Khusus kreatifitas dan ekspresi budaya yang sarat dengan kritik sosial politik patut kita renungkan.
Terminologi teknis ”separatisme” perlu dirumuskan secara tepat dalam konteks Indonesia. Untuk Papua, tak sepantasnya dikenakan terhadap setiap kegiatan yang bersifat mengoreksi berbagai kebijakan hukum dan pembangunan. Separatisme sepantasnya dipandang sebagai sebuah fenomena kultural, sebagai akibat ketidak adilan dan ketidak harmonisan sebuah relasi.
Rakyat Papua, sangat maklum bahwa sejarah Papua dalam Indonesia, berawal dari rancangan Dubes AS Eslworth Bunker dan intervensi PBB. Perjanjian New York 1962, sampai kepada peristiwa Act of Free Choice 1969. Ini semua membuktikan kepada bangsa Indonesia, bahwa integrasi itu terjadi akibat campur tangan pihak ketiga. Inilah yang membedakan Aceh dari Papua. Papua direbut oleh Indonesia, melalui tekanan militer dan diplomasi internasional. Proses sejarah itu, dimenangkan oleh Indonesia. Tetapi bagi kebanyakan rakyat Papua, itulah trauma dan akar dari berbagai pelanggaran kemanusiaan selama empat dasawarsa ini.
Sayangnya, perjuangan darah dan diplomasi politik yang patut dihormati itu, telah dinodai oleh mereka yang telah menumpahkan darah anak anak negeri Papua, atas nama pembangunan, atas nama stabilitas dan demi NKRI. Papua memang telah dimenangkan secara politik dan ekonomi. Tetapi, dari pisau bedah analisis sosial budaya tadi, Papua sebetulnya belum dimenangkan hati dan batinnya.
Mereka telah menjadi korban dari pendekatan Keamanan dan pendekatan Pembangunan yang salah. Pelanggaran HAM yang berlangsung sejalan dengan Pembangunan selama era Orde Baru (1969-1998) dan berlanjut di era Reformasi ini, telah melahirkan yang oleh Jakarta disebut
”separatisme”.
Reaksi rakyat dengan mengusung bintang Kejora, adalah suatu ekspresi perlawanan budaya atas ketidak adilan. Bintang Kejora yang dibentangkan, atau dikibarkan merupakan kritik sosial terhadap pelanggaran HAM yang begitu menyeramkan.
Di Papua, rakyat sudah mengalami lapisan dominasi, dari kebijakan ekonomi yang tidak pro-rakyat, ditindas dan ditakuti oleh kehadiran para tentara yang tidak melindungi dan menjaga keamanan. Rakyat yang selama lebih 40 tahun hidup dalam trauma ketakutan itu, hanya bisa menyatakan keprihatinan dan ketakutannya a.l dengan cara mengibarkan bendera Bintang Kejora. Dari analisis di atas, maka yang sesungguhnya kita saksikan ialah Bintang Kejora dan tuduhan separatisme atau makar; tak lain sebuah kepulan asap, dari kobaran api penderitaan, dan pelanggaran HAM, selama 45 tahun di Papua.
Pendapat Forum Papua, pimpinan Dr.Albert Hasibuan SH dan kawan kawannya dalam konperensi pers Selasa,10 Juli di aula CSIS Jakarta yang menyatakan bahwa pengibaran (yang benar adalah pembentangan) Bintang Kejora dalam pesta budaya Papua, 6 Juli bukan masuk dalam kasus separatisme. Cara pandang seperti inilah yang seyogyanya dipegang oleh semua elemen bangsa Indonesia.
Papua janganlah terus dipandang sebagai daerah bermasalah. Hendaknya kita mengakhiri semua bentuk kekerasan, agar bangsa kita ini tidak menjadi bangsa yang dicap primitif pihak lain. Dalam hal ini pihak Polda Papua agar menerapkan prinsip prinsip good governance, dalam menangani semua permasalahan hukum di Papua.
Kita patut merasa prihatin atas cara penanganan masalah Papua, dimana pendekatan keamanan begitu sarat dengan kepentingan ekonomi dan politik sejak awal Integrasi Papua kedalam Indonesia. Suatu pendekatan yang ber-lebihan dan cenderung melecehkan hak kultural dan kemanusiaan orang Papua.
Hal inilah yang saya sampaikan kepada Presiden BJ Habibie pada tanggal 25 September 1998, seusai delegasi Dewan Gereja se Dunia (DGD) dan Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) mengunjungi Biak dan Jayapura, dalam suatu kunjungan Pastoral. Dr. Judowibowo Poerwowidagdo wakil DGD bersama Dr. Sularso Sopater ketua PGI, Dr. Ketut Waspada (anggota MPH PGI dan saya sebagai anggota MPH PGI) menyampaikan kesimpulan kepada Habibie, bahwa rakyat Papua dari semua komponen, meminta kedaulatannya dikembalikan. Mereka ingin menentukan masa depannya sendiri.
Presiden BJ Habibie serta merta merespons laporan tim DGD PGI dan menginstruksikan Jenderal Sintong Panjaitan, Sekdalopbang, untuk mempersiapkan suatu dialog dengan rakyat Papua. Dari laporan tim Dewan Gereja itulah melahirkan kunjungan Tim 100 ke Istana Negara menemui Habibie pada tanggal 26 Februari 1999. Dialog itu menjadi awal dari sebuah proses demokrasi. Rakyat menyampaikan aspirasi secara terhormat dan bermartabat. Yang menjadi intisari dari proses yang berlangsung adalah sebuah keprihatinan yang dalam dan kegelisahan atas masa depan rakyat Papua yang telah lama diperlakukan secara tidak adil.

Saksi Trauma Kemanusiaan
Dari api penderitaan dan kegagalan pembangunan Kemanusiaan di Papua itulah, kini terlihat “asap” yang timbul dimana-mana. Rakyat mengibarkan Bintang Kejora, membentangkan Bintang Kejora, seperti peristiwa 6 Juli lalu di GOR Jayapura, menggunakan kaos dengan gambar Bintang Kejora, dompet, gambar di layar komputer dst. Ini adalah bukti bahwa Bintang Kejora telah menyatu dengan hati rakyat Papua, baik generasi tua maupun generasi mudanya.
Sebuah bukti balik bahwa Papua dalam Era Orde Baru sampai hari ini telah mengalami pelanggaran HAM yang sangat mengerikan. Pada tahun 1991, Sinode Gereja Kristen Injili di Tanah Papua menerbitkan sebuah buku putih berjudul Untuk Keadilan dan Perdamaian. Di situ dibentangkan beberapa kasus pelanggaran HAM a.l. di Tor Atas, Sarmi, dimana seorang kepala desa dibantai dan tubuhnya dibakar, laksana sate manusia. Dua pasang calon suami istri, tanpa busana di tepi pantai Sarmi dipaksa bersetubuh. Rakyat Papua di setiap pelosok menyimpan kisah kisah menakutkan itu.
Pemerintah Indonesia, tak bisa lagi menutup diri dari sebuah trauma kemanusiaan masa lalu yang pada akhirnya melahirkan sebuah asap yang disebut Bintang Kejora, yang menjadi saksi dan lambang dari suatu trauma kemanusiaan, dan bukannya sebuah separatisme yang menyeramkan dan mengundang ketakutan. Bintang kejora tak mungkin mengalahkan kekuatan bersenjata yang dimiliki negeri kita ini.
Jadi, akhirilah pendekatan keamanan yang berlebihan. Bentangan Bintang Kejora dalam sebuah event budaya adalah sebuah kreatifitas dan ekspresi seni atas sebuah ketidakadilan yang tidak diperoleh diatas mimbar dan panggung hukum di negeri ini. Eksperesi seperti ini juga sering dilakukan orang Aborigin di Australia. Juga oleh suku Maori di Selandia Baru, dan antara orang Indian di Kanada. Perlawanan budaya seperti itu merupakan suatu fenomema sosial secara global yang patut dihargai, bahwa rakyat dalam penderitaannya, masih tampil segar dan kreatif.

Penulis adalah dosen di STT-GKI Abepura, anggota Partnership For Governance Reform Indonesia.
Copyright © Sinar Harapan 2003
Bintang Kejora Sudah Ada Sebelum RI Masuk ke Papua
Dipublikasi pada Sunday, 08 July 2007 oleh makimee
Penulis: David Chan

BENDERA Bintang Kejora BUKAN bendera milik OPM tetapi milik seluruh rakyat Papua. Pehamilah latar belakang sejarah terbentuknya bendera Bintang Pagi (the morning star). Dalam film The Land of the Morning Star – karya Mark Worth bersama pakar-pakar sejarah Papua, bendera Bintang Kejora muncul pada masa kevakuman setelah Perang Pasifik.


Film dokumenter tersebut menunjukkan bagaimana seorang perempuan Papua sedang menjahit bendera mirip Bendera Belanda yang ditempeli bintang di sudutnya. Ketika Amerika Serikat meninggalkan Papua sambil membawa tawanan Jepang, mereka digantikan oleh Belanda.

Ternyata masyarakat Papua di Teluk Humboldt Holandia (sekarang Jayapura) sudah mengibarkan Bendera Bintang Kejora itu untuk menunjukkan eksistensi sebagai sebuah bangsa yang berdaulat. Belanda menghormatinya, kemudian bendera itu berevolusi menjadi Bendera Bintang Kejora yang mulai resmi dikibarkan pada 1 Desember 1961 berdampingan dengan bendera Belanda.

Padahal bendera itu sudah ada kira-kira sekitar tahun 1944 atau 1945 (Jepang kalah dari Amerika Serikat di Papua tahun 1944). Jadi keliru kalau Bintang Kejora CIPTAAN Belanda atau ciptaan OPM.

Falsafah Bendera Bintang Kejora

Sebagaimana dijelaskan oleh Yth. Bpk. Clemens Runaweri, seorang pemimpin Papua di film tersebut di atas.

Morning Star/ Bintang Kejora/ Bintang Pagi adalah bintang yang muncul di langit pada subuh sebelum matahari terbit. Bintang Pagi ini dijadikan para nelayan sebagai penuntun, sebagai penunjuk arah ketika mereka di tengah lautan tanpa kompas navigasi.

Bintang Kejora adalah harapan bagi nelayan yang sedang menanti datangnya Pagi. Bintang Kejora adalah pedoman arah bagi masa depan yang cerah, secerah matahari terbit.

Anda mungkin kaget melihat bendera Bintang Kejora dibentangkan dalam tarian adat. Tapi datanglah ke Papua, berjalanlah di keramaian kota , di pasar, di tempat orang berkumpul di lapangan bola, di pelabuhan kapal, di mana-mana Bintang Kejora dipakai rakyat.

Bintang Kejora disablon di belakang T-shirt, di topi, dijual bebas menghiasi noken-noken (tas tradisional Papua), Bintang Kejora sudah menjadi bagian yang mendarah daging dalam kehidupan rakyat Papua, dari kota hingga ke kampung-kampung.

Pergilah ke dalam kelas SMP atau SMA, lakukan pemeriksaan pada tas-tas mereka, di situ Anda akan temukan beberapa siswa menyimpan Handphone mereka dalam kantong kecil (noken kecil) yang berhiaskan Bintang Kejora.

Bintang Kejora ada di gelang manik-manik yang melingkari pergelangan. Bahkan ada tato Bintang Kejora di dada seorang pemuda Papua yang dicium mesra kekasihnya.


Ada semangat yang menghidupkan dalam diri setiap anak-anak Papua yang memakainya. Bintang Kejora sudah ada jauh sebelum Republik Indonesia masuk ke tanah Papua (1 Mei 1963).

Melarang Bintang Kejora sama saja dengan merampas “KOMPAS NAVIGASI” rakyat Papua yang saat ini “sedang berlayar” menanti datangnya pagi.

Itu fakta sejarah, bung! Menonton film The Land of the Morning Star adalah wajib hukumnya, bila Anda sungguh-sungguh ingin mengenal sejarah Papua dengan ketulusan dan kejujuran. ***

Jumat, 03 Agustus 2007

PLANET ASING ITU BERNAMA FREEPORT




Sebuah refleksi Kemanusiaan
Oleh: Emmy Sahertian

Memasuki area konsesi PT Freeport Mac Moran di Mimika, Papua, kita akan menyaksikan sebuah pentas tekhnologi eksplorasi tambang yang komprehensif,canggih dan mendunia di mulai dari area pendukung yakni pengembangan kota ”Kuala Kencana” di daerah dataran rendah bersisian dengan kota Timika, area ”Hiding Valley” yang rapih dan indah di ketinggian 1000-an meter dan kota Tembagapura yang exotik dengan barisan rumah dan barak karyawan yang rapih. Sistem dan tata kota yang canggih serta modern terutama model perumahan karyawan yang rapih,bersih, penggunaan alat Rumah tangga modern dengan sistem digital juga pekarangan berwawasan lingkungan yang asri. Proteksi keamanan daerah ini sangat ketat, bahkan ketika ingin belanja ke Supermarket kita perlu menebus kartu identitas yang rata-rata berharga Rp300.000. Oleh karena itu akan sangat sulit bagi masyarakat Papua yang sederhana mengakses segala kemudahan ini kecuali hanya menonton sebagai orang asing.
Menuju ke ketinggian Tembagapura pembangunan jalan dan sistem pengaspalan yang menggunakan tailing telah mencapai puncak Grassberg di ketinggian 4000-an menjadi petanda bahwa alam Papua yang sulit ditembus itu ternyata dapat ditaklukan melalui sentuhan tekhnologi yang sangat canggih ini. Sesuatu yang ironis bila kita harus membandingkannya dengan kehidupan sederhana masyarakat Mimika yang berjejal di rumah-rumah sedrhana, dan kehidupan kota Timika yang sistem transportasi dan jalannya masih banyak berlubang serta tata ruang kota terkesan asal bangun, lalu di kota ini hidup seorang teman Papua asli dari daerah Paniai tinggal bersama keluarga pada sebuah rumah sewaan di perkampungan kota yang sempit milik seorang pendatang, menyadarkan kita bahwa keterasingan masyarakat Papua telah membuat mereka tertinggal jauh di belakang dalam mengejar dan merebut kehidupan yang mestinya bisa dicapai setara dengan para karyawan Freeport dan para pendatang.


Untuk apa dan Untuk siapa pertambangan ini ?
Ini mungkin sebuah pertanyaan konyol dan sangat terlambat muncul karena eksplorasi sejak tahun 1967 – 1991, Kontrak Karya I dibuat untuk eksplorasi Tembaga dan Kontrak Karya II 1991-2021 untuk emas, perak dan tembaga dengan luas lahan 2,6 juta ha, telah berlangsung dan sedang berlangsung. Eksplorasi Estberg sudah selesai dengan menghabiskan satu gunung penuh, kemudian Gunung bijih Timur dengan Deep Or zone dan Intermediate Or Zone (DOZ & IOZ), Big Gossan, Grassberg Pit dan Grassberg Underground, Deep Or Mining (DOM) dan daerah Kucing Liar sudah di explorasi. Dari semua eksplorasi ini telah dibuktikan bahwa kandungan yang berkualitas adalah Grassberg baik yang open pit maupun undergound. Eksplorasi di Grassberg sudah mencapai kedalaman kira-kira 1000 m (1Km) membentuk spiral raksasa dengan diameter lebih dari 2-4 km, mendekati dinding Cartens dan sangat dekat dengan gletser atau puncak salju Nemangkawi abadi yang agung itu, menyasar 160 juta ton ore (tanah tambang) dengan kandungan emas 1.27.ppm, 2,90 ppm perak dan 1.o6% tembaga. Juga eksplorasi ”underground” yang menyasar 670.846 ton dengan kandungan emas 1.09 ppm, perak 3.81 ppm dan tembaga 1.22%. Masih banyak misteri yang terkandung dalam konsentrat yang digerus dari grassberg ini. Sejak Kontrak karya pertama tahun 1967 misteri explorasi ini selalu dipertanyakan masyarakat terutama masyarakat Amungme yang saat itu tidak memahami apa yang sedang terjadi dengan gunung-gunung sucinya yang selama ini diakui sebagai ”kepala mama”. Setelah 33 tahun masa eksplorasi barulah ada ”A Special Voluntary Trust Fund” Agreement antara PT-FI dengan masyarakat Amungme dan Kamoro yang daerahnya berada pada daerah konsesi eksplorasi. Total jumlah $2.5 juta di mana sekitar $ 1 juta sudah dikucurkan. Ada persoalan kultural yang belum selengkapnya diselesaikan yakni persoalan tanah ualyat yang telah menimbulkan konflik dan kekerasan. Pemahaman kultural menempatkan masyarakat sebagai pemilik tanah berhadapan dengan pemahaman politis bahwa ini adalah aset negara. Fakta membuktikan bahwa kekayaan alam yang luar biasa berkualitas ini belum mensejahterakan masyarakat sekitar bahkan lebih banyak menimbulkan bencana bagi mereka ketika terjadi peluapan di danau Wanagon, dampak limbah tailing yang merusak ekosistem serta semakin ganasnya malaria dan TBC dan kini HIV dan AIDS.Mereka teralienasi dari sebuah harmonisasi alam yang mungkin kalau tidak dieksplorasi lebih mensejahterakan dan menyehatkan mereka....pertanyaannya siapakah yang paling diuntungkan dan disejahterakan??


Planet Asing di Bumi Amungme
Berdiri di ”over look” tertinggi dengan nama asing seperti Puncak Manado dan Puncak Surabaya, anda bagaikan seekor semut kecil di depan corong besar yang meraung-raung karena pantulan bunyi mesin diesel pembangkit listrik yang mensuplai energi bercampur dengan bunyi ratusan mobil pengeruk seperti catterpillar, baik yang ukuran paling besar maupun yang sedang yang bergerak sepanjang lingkaran spiral untuk mengangkut bahan-bahan pilihan atau Or. Emas, tembaga dan perak merupakan tiga elemen mineral bumi yang diexplorasi secara eksploitif. Hal yang menakjubkan ketika kita memasuki area mill di mana proses penggilingan or, hingga proses pengapungan 3 bahan penting :emas, perak dan tembaga. Sekitar 80% dari hasil eksplorasi diproses menjadi konsentrat sementara 20% lainnya dibuang bersama tailing mengaliri sungai Aikwa dan Otomona dengan anak-anak sungai lainnya, sungai2 yang dalam pemahaman spiritual Amungme adalah air susu Mama yang mengalir dari dua gunung erstberg dan grassberg.
Pentas tekhnologi tinggi ini membuat area konsesi PT-FI ibarat sebuah planet asing dengan populasi pendatang bak terdampar di bumi Amungme yang sangat sederhana. Para pegawai pendatang dan expatriat memiliki wewenang yang besar dalam menentukan kebijakan ketiban para karyawan asli yang hadir sebagai orang asing di dunia lain. Dunia yang sangat berbeda jauh dengan kota Timika yang tertinggal itu. Misalnya di open pit ekspolrasi, di mile tempat pemrosesan konsentrat, underground eksplorasi, maintenance, domestic affair seperti pengurusan barak dan katering
Kami sempat menyaksikan saat perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus, hampir semua poster heroik yang dibentangkan tidak ada gambar orang Papua yang mempengaruhi pemandangan yang betul-betul asing bagi masyarakat asli Papua. Sangat terasa bahwa nasionalisme Indonesia begitu asing bagi masyarakat Papua yang ada di dalam area ini.


The Other side of Portsite
Pelabuhan Portsite adalah tempat pengangkutan konsentrat kering dari hasil bersih tambang emas,perak dan temabaga yang langsung dikapalkan ke negara tujuan. Di depan pelabuhan ini kira-kira 500 meter dari pelabuhan terdapat kampung Karaka orang Komoro yang tinggal di rumah panggung sangat sederhana dan miskin di atas laut.
Sekitar lebih dari 50 KK dengan jumlah populasi 500 orang mendiami gubuk-gubuk kumuh yang tidak sehat. Sebagian besar anak-anak tidak bersekolah dan bermain di rumahnya atau bersampan di sekitar pemukiman mereka. Masyarakat ini pernah ditawari untuk relokasi ke daratan namun mereka menolak karena akses air bersih dan fasilitas kesehatan perusahaan yang dekat dengan pemukiman dapat dimanfaatkan dengan cepat dibandingkan tempat yang disediakan jauh dari kemudahan fasilitas pokok tersebut..
Kesulitan yang lain adalah semua orang Kamoro ini adalah nelayan tradisional yang kultur dan habitatnya adalah laut sehingga sulit berpindah ke daratan dan mengganti mata pencaharian sebagai petani daratan. Persoalan yang lain adalah terdapat banyak kapal penangkap ikan gelap asal negara Thailand dan negara tetangga lainnya yng tertangkap polisi air sementara berlabuh di dermaga khusus penahanan kapal gelap. Kapal-kapal ini bisa berlabuh berminggu-minggu dan dilepaskan bila sudah ada penyelesaian. Meskipun para awaknya dilarang turun ke daratan namun masyarakat yang datang untuk menjual makanan dan minuman serta mengadakan prostitusi tersembunyi cukup marakInteraksi ini diduga merupakan salah satu pemicu tingginya angka HIV – AIDS di Timika di samping maraknya pelacuran gelap melalui kafe-kafe dan warung-warung yang tersebar di kota Timika dan sekitarnya. Kasus tertinggi HIV-AIDS tertinggi di Papua adalah di Kab.Mimika/Timika. Kan[1]wil Prop.Papua mendatakan jumlah yang terlaporkan tertinggi di Mimika hingga Juni 2006 =1019.


Dapatkah mereka sejahtera?
Dapatkah orang Papua mengejar ketertinggalan, paling tidak taraf hidup mereka bisa setara dengan komunitas PT Freeport ? bilamana itu terlaksana ataukah merupakan sebuah kemustahilan???
[1] Foto2 Dok.Pribadi.

Refleksi Malam Renungan AIDS: 19 Mei 2007


“Lighting the Path to the World without AIDS”
Oleh" Emmy Sahertian

Apakah anda yakin bahwa nanti ada dunia tanpa HIV dan AIDS? Sebagaimana harapan yang pernah ada pada berabad-abad lalu dari mereka yang terkucil dan terlupakan karena menderita penyakit-penyakit yang digolongkan sebagai penyakit terkutuk karena dianggap akibat dari perilaku menyimpang terhadap ajaran Tuhan….
Kalau begitu apakah HIV dan AIDS mempunyai hubungan yang mekanis dengan berbagai perilaku tidak bermoral manusia terutama perilaku seksual dan gaya hidup yang menyimpang dari ajaran Tuhan itu?
Apakah kalau manusia itu mengikuti ajaran Tuhan dan tidak menyimpang maka tidak berpotensi untuk ditularkan oleh virus ini?
Lalu ajaran Tuhan yang mana dan bagaimana dapat membebaskan manusia dari ancaman penularan tersebut…
Siapa yang bertanggungjawab memberitahukan ajaran Tuhan yang membebaskan manusia dari ancaman HIV dan AIDS? Dokter? Pendeta?Orang Tua…siapa?
Belajar dari pengalaman masa lalu, kita tidak pernah akan bisa membersihkan dunia ini dari berbagai ancaman penyakit yang datang silih berganti melalui berbagai cara penularan…..sementara sebagian besar orang tetap tidak tahu dan tidak peduli dengan persoalan tersebut.
Dasar dari segala sikap itu adalah KETAKUTAN terhadap ancaman tersebut….
karena TAKUT maka banyak dari kita selalu melarikan diri dan bersembunyi di balik tembok moral dan sikap puritan, lalu seolah-olah kita bukan bagian dari sasaran ancaman tersebut dan menunjuk dengan begitu jelas bahwa mereka yang menjadi sasaran ancaman itu adalah mereka yang hidupnya tidak seperti kita….orang yang lain dari kita…..bukan orang-orang kita…..tapi MEREKA ….orang-orang yang selalu dalam komunitas MEREKA sebuah ungkapan penghakiman moral dan sosial yang mengunci pintu solidaritas Allah terhadap manusia.
karena TAKUT maka kita membangun berbagai ritual yang diyakini dapat memberi kekuatan kepada kita sekaligus membuktikan bahwa kita adalah orang-orang yang peduli…
karena TAKUT maka kita begitu mempromosikan hidup yang bebas dari HIV dan AIDS ketiban menemukan cara yang tepat untuk menghadapinya
karena TAKUT kita lebih menempatkan keselamatan kita di atas segala-galanya ketiban keselamatan banyak orang yang terancam
karena TAKUT kita lalu menempatkan diri sebagai pahlawan-pahlawan yang menjadikan orang yang hidup dengan HIV dan AIDS menjadi obyek dari belas kasihan, sementara kita mensyukuri diri dengan berkata ”untung kita tidak tertular”
karena TAKUT maka kita lupa menyalakan cahaya pengharapan bagi mereka yang terjebak dalam kekelaman pergumulan hidup, sebaliknya menyalakan seterang-terangnya lampu pada tempat-tempat yang sudah mempunyai penerang
karena TAKUT, masih banyak orang justru mematikan lampu pengharapan bagi mereka yang terpapar dan terdampak pergumulan menghadapi HIV dan AIDS melalui sikap stigma dan diskriminasi
karena TAKUT, maka masih banyak gereja yang menyempitkan pintu bagi mereka yang hidup dengan HIV dan AIDS
karena TAKUT,maka kita kehilangan kewaspadaan, pengetahuan dan keterampilan menghadapi ancaman HIV dan AIDS lalu hanya memohon agar Tuhan menghapus virus tersebut dari muka bumi ini……
Yesus hadir di dunia yang manusianya tidak memiliki kemampuan untuk memberantas dengan tuntas semua penyakit dan penderitaan...... Ia tidak menjanjikan bahwa dunia ini akan bebas dari penderitaan……tetapi ia memberi penerang abadi agar manusia melihat dengan jelas jalan yang terbaik untuk menghadapi semua tantangan dan penderitaan itu sebagai sebuah salib yang harus diusung bersama dalam rangka proses transformasi jalan menuju pembebasan kekal. Penerang abadi itu adalah KASIH yang dalamnya terkandung kepedulian dan berbela rasa, solidaritas dan pembelaan, pengorbanan dan pembimbingan bagi sesama yang terancam tanpa mempersoalkan APA, SIAPA, BAGAIMANA dan di MANA……..
Yesus bahkan menyabung nyawanya bagi manusia yang dianggap “berdosa” menurut ajaran agama dan stigma masyarakat…… Ia bahkan memprioritaskan mereka karena mereka adalah milik Tuhan Allah yang sama berharga dalam Kerajaan Allah yang telah dipinggirkan sesamanya sendiri. Karena tanpa aksi solidaritas terhadap mereka yang terkucil maka Kerajaan Allah yang diberitakan itu tidak mempunyai nilai kasih, keadilan, dan pendamaian… bahkan hanyalah merupakan kumpulan komunitas eksklusif yang membangun tembok penindasan spiritualitas…memberangus kemanusiaan… yang sama nilainya dengan sebuah pembunuhan kriminal.
Lalu apa yang mungkin kita lakukan?
Cobalah masuk kekamarmu, pandanglah wajahmu di depan cermin dan tanyakanlah pada dirimu...apakah kamu sudah TAHU benar, SADAR benar dan TERAMPIL benar menghadapi ancaman HIV dan AIDS. Dari keterampilan tersebut kita menjadi peduli untuk membawa penerang abadi Kristus kepada sesama? Karena....HIV dan AIDS sudah hadir dan kita telah membiarkannya berkembang biak dengan subur di bumi ini melalui sikap ketidak tahuan dan ketidak pedulian kita. Kita akan kesulitan memberantasnya dari muka bumi ini..... kecuali terampil dalam menghindar khusus mereka yang belum terpapar dan atau menghadapinya dengan benar khususnya bagi mereka yang telah hidup dengan HIV dan AIDS…
Itulah anugerah Tuhan bagi manusia untuk BERANI MENGHADAPINYA dengan benar.........















Kamis, 02 Agustus 2007

UU Otsus Papua Makin Terkepung:Sinar Harapan, 11 Juli 2007





Enam tahun sudah status Otonomi Khusus (Otsus) diberikan kepada Papua sebagai sebuah jalan keluar dari masalah pemencilan hak-hak dasar rakyat di sana. Namun ternyata, status tersebut masih menjadi soal akibat perbedaan persepsi tentang penerapannya.
Pergantian Presiden, perubahan politik di pusat dan interest politik yang menyertainya ikut menentukan persoalan ini. Berbagai tafsir yang berbeda dan penuh wasangka dihembuskan oleh kalangan birokrasi di pusat.
Pasal-pasal fundamental dalam UU No.21/2001 Otonomi Khusus Papua dilihat mereka sebagai akan melapangkan jalan bagi kemerdekaan Papua. Majelis Rakyat Papua (MRP), sebagai representasi proteksi terhadap orang asli, telah dicurigai sebagai superbody, sehingga PP tentang MRP baru dikeluarkan setelah beberapa tahun kemudian.
Menyangkut masalah lambang kultural orang Papua, yakni bendera dan lagu yang diatur pada Pasal 2 UU Otsus Papua belum juga disetujui oleh peraturan daerah khususnya. Malah ketika digelar dalam sebuah musyawarah adat pada awal bulan ini, dianggap sebagai bagian dari makar.
Pemanggilan terhadap para pengurus Dewan Adat Papua merupakan bukti bahwa kriminalisasi UU Otsus itu semakin terasa. Stigma separatis tiada lekang terhadap masyarakat adat/asli Papua, dan justru makin menguat. Daerah ini kembali diisolasi dari mata dunia ketika Senator Eni Feleomavega anggota Kongres AS yang ingin merasakan langsung kondisi Papua sebagai ”tanah damai”, tidak diperkenankan ke Papua.
Secara sistematis UU Otsus Papua dikepung dengan berbagai peraturan dan perundang-undangan yang kontroversial, sehingga UU tersebut semakin terpencil dan tidak berdaya dalam mengangkat martabat hidup dan status orang Papua yang telah berintegrasi dengan Indonesia sejak tahun 1969 melalui sebuah proses penentuan nasib sendiri atau “act of free choice”.
Masalah dimulai ketika proses penentuan nasib itu justru tidak mengikuti klausul Perjanjian New York secara konsisten sehingga banyak terjadi pemaksaan, penyiksaan dan pembunuhan (Laporan Tim Khusus penyelidikan pelanggaran HAM era Suharto, 2003).

Berhenti di Birokrasi
Selama lebih dari 40 tahun hidup dalam pendekatan pembangunan yang cenderung represif telah membangkitkan kekuatan kultural untuk mengemukakan aspirasi memisahkan diri secara damai dalam era reformasi. Menanggapi ini, UU Otsus diterbitkan sebagai jalan tengah supremasi hukum dalam penyelesaian konflik politik.
Namun tidak berapa lama, Undang-Undang tersebut dikepung dengan Inpres No.1/2003 tentang Pembentukan Propinsi Irian Jaya Barat (kini Papua Barat) mengacu kepada UU no.45/1999 yang secara fakta hukum tidak sesuai dengan spirit UU Otonomi Khusus Hirarki hukum mestinya menjadi acuan pemekaran provinsi.
Masalah berikut adalah ketika diberlakukan juga UU No.32/2004 tentang otonomi daerah dan pemekaran kabupaten/kabupaten kota di mana menjadi tandingan penerapan UU Otsus untuk pemekaran daerah kabupaten/kabupaten kota. Aparat daerah dibingungkan karena kekacauan hukum ini menjebak mereka ke dalam bad governance (tidak accountable dalam kebijakan dan penggunaan dana). Euforia pemekaran wilayah tidak diimbangi dengan kajian dan pemberdayaan kapasitas serta protokol pertimbangan khusus Majelis Rakyat Papua sebagaimana yang diatur dalam UU Otsus Papua.
Hal yang sangat memprihatinkan adalah ketika peraturan daerah (Perda) tentang pengaturan dana Otsus belum mengacu penuh pada spirit undang-undangnya, karena masih mengacu kepada Peraturan Mendagri. Perda Khusus dan Perda Provinsi yang dibutuhkan sekitar 30-an demi mengefektifkan UU Otsus, baru 6 yang diterbitkan.
Maka pelaksanaan Otsus sesuai semangat UU mengalami pelambanan dan tidak mempunyai kekuatan. Dana Otsus belum sepenuhnya berpihak kepada rakyat, lebih banyak berhenti pada meja birokrasi (Laporan kajian UNIPA tentang APBD 2006). Konsekuensi logis dari situasi ini adalah banyak rakyat menderita karena tidak terjangkau pembangunan yang adil, manusiawi dan bermartabat. Bandingkan dengan Aceh yang belakangan menerapkan status Otsus yanng beberapa klausul terbaiknyanya mengadaptasi Otsus Papua.

”Affirmative Action”
Rakyat Papua yang melalui Otsus seharusnya mendapat proteksi, pemberdayaan dan keperpihakan untuk mengejar ketertinggalan, kini harus terpuruk ke dalam jebakan kekacauan hukum. Energi mereka pun terkuras untuk memprotes dan mengkritik sikap pemerintah pusat yang tidak konsisten.
Otsus bukan lagi sebuah solusi, melainkan menjadi masalah baru. Protes dan penolakan terhadap Otsus mulai muncul secara keras dan label “separatis” telah terlanjur diberikan bagi masyarakat asli Papua baik personal yang kritis maupun institusi seperti Dewan Adat, juga gereja dan berbagai organisasi masyarakat lainnya (Laporan Penelitian Mabes POLRI dan Lembaga Penelitian Universitas Trisakti 2006).
Label tersebut telah mengaburkan dan memperkeruh nurani setiap aparat yang dengan kasat mata dapat menyaksikan betapa pulau yang kaya akan sumber daya alam seperti emas, timah, gas, minyak, hutan dan hasil laut bahkan penyumbang oxygen terbesar kedua di dunia ini terpuruk dalam kemiskinan struktural.
Angka kematian ibu dan bayi tertinggi di kawasan Asia (20% dari 1000 kelahiran) angka HIV dan AIDS secara proporsional tertinggi di Indonesia (hampir 3000 kasus dari total sekitar 8000 kasus terlaporkan di 31 propinsi di Indonesia), daerah dengan kantong kemiskinan tertinggi terutama pada kawasan-kawasan yang dicurigai sebagai basis OPM di daerah pegunungan dan kepala burung (60 % dari total 1,5 juta penduduk asli).
Laju pertambahan penduduk asli yang semakin melamban dan mengarah ke punah (pada saat integrasi 1969, jumlah penduduk 800.000 seimbang dengan PNG, kini penduduk asli Papua 1,5 juta, sementara PNG sudah 6 juta). Mestinya kita sadar dan mengerti bahwa setelah pemencilan hak politik, kini telah terjadi pemencilan hak ekonomi, sosial dan budaya yang bermuara pada marginalisasi hukum UU no.21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua ini.
Sesuai semangat UU Otsus itu, proteksi melalui affirmative action dan partisipasi rakyat Papua asli yang terwakili dalam kelompok adat, agama dan perempuan, dan berbagai kelompok masyarakat asli seharusnya ditangani dengan jelas, adil dan bermartabat. Ini juga untuk membuktikan bahwa negara Indonesia melindungi dan mensejahterakan segenap warganya.
Moga-moga rencana pembangunan berbasis kampung yang dicanangkan Gubernur Papua Barnabas Suebu dan new deal Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui Inpres pencepatan pembangunan Papua betul-betul menghormati supremasi UU Otsus Papua, artinya dalam semangat proteksi, pemberdayaan dan keperpihakan kepada rakyat Papua, bukan bagi para investor.
Bila tidak, Otsus Papua semakin lumpuh dan doktrin NKRI sebagai alat pemelihara persatuan dan nasionalisme Indonesia akan menuju kepada ironi bahwa disintegrasi justru dilakukan sendiri oleh negara.

Penulis adalah rohaniwan, Sekretaris Umum Solidaritas Nasional untuk Papua, Steering Committee Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika.

WAMENA:Call to care HIV and AIDS


Bersama FHI/ASA Papua dan aksi KITA BISA World Vision mengadakan workshop on HIV and AIDS di bersama para pendeta dan Guru Injil di Wamena. Inilah komponen kunci masyarakat yang perlu dipersiapkan untuk response cepat terhadap penyebaran HIV yang sudah bagaikan api liar ditengah-tengah masyarakat umum Papua, bukan lagi pada kelompok berperilaku berisiko. tercatat hampir 42% adalah ibu rumah tangga, dan 82 % adalah penduduk asli.

Salah satu isu kontroversi adalah kondom yang oleh kaum moralis dianggap sebagai alat legitimasi perzinahan, padahal hampir 100% lelaki hidung belang tidak akan memilih menggunakan kondom dalam pengembaraan seksual mereka karena tidak memuaskan....juga rumit membuka kemasannya.

Jadi penggunaan kondom dalam memutuskan mata rantai HIV itu penting terutama bagi mereka yang tidak dapat menahan nafsu obsesive untuk melakukan hubungan seksual berisiko.

Ini beberapa panduan:

* Kondom merupakan salah ssatu pilihan efektif untuk memutuskan mata rantai di samping pilihan untuk bertarak seksual, tidak Hugel (hubungan gelap), tidak memakai alat tusuk dan alat potong sembarangan atau tidak steril, serta jangan coba-2 pakai narkoba

*Kondom wajib digunakan bagi mereka yang pernah terkena IMS dan mereka yang telah terpapar HIV. Agar tidak menularkan penyakit pada pasangannya, juga bagi sesama pasangan yang positif wajib pakai kondom dalam hubungan seksualnya untuk menghindari penumpukan virus yang akan membuat tubuh resistemce terhadap obat-obat terapi ARV (Anti Retro Viral).

* Kondom perlu di perkenalkan sebagai pilihan-pilihan etis dalam pendampingan dan konseling pastoral. Seorang konselor perlu melatih pilihan-pilihan etis itu termasuk kondom. Dalam persaingan perebutan umat dengan sang virus maka kondom merupakan alat sementara dalam proses perubahan perilaku.....

* Kondom bagi kita ada 3 macam,Kondom laki-laki (SARGO), kondom perempuan (NOKEN), dan terakhir adalam kondom iman(nasehat Agama).....Konseling yang efektif adalah bila kita memberikan panduan yang jelas sederhana dan dapat diterima oleh mereka....

di sini relasi antara Eros (nafsu) dan Agape (Hormat akan Tuhan) perlu dikomunikasikan melalui dialog personal serta konfidensial....bukan dikhotbahkan di atas mimbar.....

semoga....


ANBTI dan Advokasi Masyarakat Agama Adat

Hampir terlupakan yang satu ini, bahwa kami ANBTI mengadvokasi masyarakat yang oleh negara dimasukan sebagai kelompok kepercayaan dan penghayat.

Mereka menjadi korban dari kebijakan yang diskriminatif tidak jarang banyak yang mengalami anarchis. Aku masih sempat bertanya tentang agamaku sendiri, sebuah produk dari belahan dunia sana yang datang (import) dan kemudian ikut menjadi apa yang disebut agama resmi negara....sementara mereka yang telah berabad-abad membentuk apa yang disebut spiritualitas budaya sebagai sebuah kekuatan nasionalisme Indonesia malah dimarginalkan karena agama-agama 'main stream' yg expansif dan evangelical memberi label "kafir". Antara lain di daerahku di Timor ada yang disebut agama "halaik", di Sumba ada "Marapu", di Maluku ada yang percaya "Opu Nusa dan Opu Laut", di Papua ada "Koreri" di Kalimantan ada "Kaharingan", di Sumatera ada "Parmalim", di Jawa ada banyak "Kejawen", Penghayat yang di Cigugur dan dan masih banyak lagi...yang tersebar di seluruh Indonesia yang karena label itu maka banyak yang tidak memenuhi persyaratan negara tentang agama. Dampak paling besar adalah krisis identitas dan degradasi spiritualitas yang justru dilakukan oleh negara.

Agama-agama ini justru lekat dengan alam atau "ecocentric", agama mereka adalah budaya atau adat mereka, sementara agamaku sangat "anthropocentric" yang berpusat kepada manusia sebagai "mahkota ciptaan". Sejarah membuktikan bahwa yang anthropocentrik bila terlalu menonjol selalu memenangkan pertarungan dan cenderung mendominasi ecocentric, yang bila pola ini ditarik ke jejang kehidupan politik dan sosial, muncul apa yang disebut sebagai ketidak adilan jender, eksploitasi manusia terhadap alam...dan pemberangusan hak-hak sipil yang mestinya dilindungi oleh negara misalnya UU ADMINDUK yang sudah kami tolak itu. nah ini ada angle lain lagi dari jejak pelayananku ...ngebayang nggak ketika aku ikut membela masyarakat agama adat ini. Beberapa teman pendeta mengatakan aku udah aneh. Aku bilang pada mereka bahwa sebagai orang beriman kita berpihak kepada keadilan...mengapa Tuhan mengizinkan mereka ada sebelum kita dan hidup hingga hari ini sementara kita mepertanyakan existensi mereka dan memberangus hak sipil mereka, itu sama saja dengan pembunuhan.

Mereka punya Tuhan dan aku juga punya Tuhan... Tuhan mereka dan Tuhanku sama-sama ada di surga...ini surganya di mana kita sama-sama ndak tahu hanya Tuhan yang dipercayai itu yang tahu.

Jadi ini tantangan abad ini, bukan saja kita harus bertanya kenapa masih ada agama adat itu tetapi juga bertanya pada diri sendiri apakah agamaku adalah yang terbaik?? aku suka poster yang ku jadikan foto utama blogg ini : Spiritual People Inspire me, Religious People Frighten me......

JENDERAL…..Aku sudah punya Handphone !

tapi itu pun sudah dirampasi majikan arabi itu
sekaligus melucuti martabat BANGSA
yang kau titip pada tangan tangan kurus ini…
pada bibir teriris meluka menyayat……
pada tungkai mengecil melapar melunglai
helai sehelai harga nyawa ku adalah budak belian…….
terkapar dalam kegelapan tanpa pengawalan
dan kau sibuk mengamankan dirimu
nyaman dikawal seribu pengikutmu
apalah aku ini…….perempuan Dompu
yang melanglang ke negeri suci mengampu hidup ..
menjuangi nafas keluargaku-rakyatmu merana
dalam negeri yang mulai melapuk…mengeropos
dan….sampai hati kau jenderal…..
kau biarkan para pencoleng itu berkeliaran bebas
menyuapi ….menyumpali ..menguras…
dan menyempitkan ruang ruang paruku……
lalu nafasku makin menyesak karena asap asap korupsi
kau biarkan berseliweran di cakrawala negeri….
lalu kau bilang itu pelangi

Aku sudah punya Handphone Jenderal
tak perlu kau tambah lagi
karena tak akan mungkin menambah jengkal harapku padamu aku hanya ingin pulang
ke pangkuan negeri….
di situ telah kurangkai jiwa bangsaku
bersama derita tak berujung ini………

(tribut buat Sumiati)

PULANG

Ku titip tetesan embun pada bedebu tandus pada kekeringan pepohonan perdu yang punah diterpa angkara awan awan panasKini aku kembali pada tanganmu membuka

pada jemari jemarimu yg siap membelai.....dan dalam pelukan harap itu....aku pulang ....bersimpuh di pelataran hatimu...siap merajut bangkit....dan aku kembali hidup

(Buat pengungsi Merapi yg berhasil pulang)

BERSELIMUT LAHAR (Erupsi Merapi)

Malam ini......
Dedaun merunduk rontok bersepuh debu...memutih...putih
lahar lahar kelabu bergulung menggulung menuruni tebing tebing jiwa…
kusimpuhi lutut membiru ….. patuh
ku pasrahkan sisa nafasku pada keagungan belaianmu yang membara merebus …meleburku menjadi tak berujud .... aura nan abadi

Agar aku tidak pedih menguras kalbu
Agar aku tidak lelah meretas benak
Agar aku tidak renta memulasari kerut

yang terurai pada baki baki sesajen basimu
Bersama lolong terakhir alam berkumandang pulang
kurebahkan nuraniku…berselimut lahar….. Malam….ini

BERSELIMUT GELOMBANG


dera hempasnya memekak sunyi nyalak serunai malam....petanda badai......
bencana....bencana..suara itu tak bernyali
dan aku pun menari bersama nyanyi samudera
bergulir bersama pasir pasir pagi
kuselundupkan jiwaku ...berlindung dalam gulung membuih
tak peduli gemuruh pasangnya merencah karang
tekad yang rapuh.....memutih ...menyuci..
berselimut gelombang.....


Seminyak, Bali
by: Emmy Sahertian, Saturday, October 2, 2010

THE ACT OF FREE CHOICE

Di bilik sepi ini aku memilin diri untuk bebas menentukan jalan….tanpa sang Sakamu,
dan aku mengajak aku…aku .... aku.... aku dan aku
untuk tidak lagi mengampu padamu Jenderal
kuderapkan kakiku sendiri di belantara zaman tanpa menggelantung pada jari jari lenturmu yang biasa menarik pelatuk pelucut nyawa yang membuka kerangkeng para durjana pencoleng cita remaja negeri
lalu ku pinjam aturan ilahi ini : ACT OF FREE CHOICE

Merdeka!!!!

(17 Agustus 2010)

MAMPIR :Suatu malam di pinggir kali Jodo

Suatu malam di pinggir kali Jodo

dedaun mengembun....... rimbun
atap berkatup hasrat hasrat mengapit menggulung
kuak jendela melebar....melebur seribu lambai lentik tangan
gegas nafas memburu langit berbentang bintang... lelaki malam pun merentang
di antara helai rambut dan selangkang mengurai peluh peluh dingin.....
lalu…jeritan hampir subuh membuang sisa birahi malang.....

dan kau tak menampik… mampir
meskipun sahadatmu bergelantung sarat di pusaran hati
lalu ayat ayat suci pun mandul……
terperangkap derita rahim kelu …..

Bukalah Kasutmu JENDERAL……………..

dan rasakanlah betapa jalan kami memanas berduri merajam telapak telapak sunyi mebungkam derita

helai jiwa kami tergadai bersama ucapan manis bibir beracunmu…..

malam malammu kan terusik suara jeritan bumi merana yang kian menggemuruhkan semangat untuk membangkang…..

yang menganga pada lutut lutut bersimpuh menarik keperkasaan Tuhan dan menjahitkannya pada geligi geligi retak

karena kemarahan mendengki

singsingkanlah kaki celanamu agar kau dapat merasakan bahwa tidak semua jalan itu rata…berduri dan berkarang

betismu akan merasakan lumpur pekat yang telah lama merendam pendam sukma manusia jelata

yang rela mendermakan jengkal nafasnya tersangkut pada kawat berduri penjaga wilayah nyamanmu

punggung kami meregang bersandar pada angan kosong jalinan janji yang kian panjang tak berujung

hati hati….kakimu mulai membusuk…..aromanya mulai merasuk menebar ….maka bau bangsamu menjadi anyir….

membusukan bumi………..kami merontok


bukalah kasutmu JENDERAL

sebelum engkau terjungkal…..karena jalanmu berlubang curam

sekian lama terutup sepatumu yang menebal nyaman…..

Jenderal ! jangan kau tekan Anak Pulau itu

jangan kau tekan anak pulau itu, Jenderal !
lalu kau suruh mereka meracuni tali pusar dan placenta yang telah berabad tertanam pada tanah tanah ulayat itu
jangan kau usik butiran emas Tuhan….dan menggerus rahim ibu buminya dengan racun racun ecocida…maka nyiur nyiur akan mengering lesu……..lalu gemuruh angin menjadi marah mengamuk berkepanjangan karena tak ada lagi penyambutan lambaiannya yang mesra membelai

jangan kau tekan anak pulau itu, Jenderal !
lalu kau bilang bahwa tambang akan lebih mensejahterakan ketiban hijaunya rerumputan….jernihnya sungai, birunya laut suburnya kebun buahan…berkeriapannya ikan ikan …cerianya warna terumbu … bercengkeramanya kerbau dan tekukur….
itu adalah mimpi yang tak pernah terbukti…….karena akan muncul manusia manusia beracun lumpuh layu…..tubuh membenjol….lalu nyawanya menelusur beberapa jengkal menuju ziarah terakhir tidur abadi
sementara engkau begitu sehat meniduri serpihan serpihan penderitaan itu dengan lelap bersenandung

Jenderal! jangan kau tekan anak pulau itu... dengan kekuatan bentakmu beribu jari pelatuk bedil keserakahan…dan janji muluk tentang berkodi lembaran kertas berhiaskan wajah pahlawan yang kau pajang sebagai penghibur kegentaranmu atas hutang negeri yang tak terbayarkan…
karena hatinya akan menghitam dan samuderannya akan memburam menerkam jiwa jiwa penjilat sekelilingmu….
semakin di tekan……. Ia bagai detonator peledak amarah gunung…yang kan bergulung menenggelamkan keperkasaanmu selamanya…..

maka buminya akan menerkam semua mimpi subuhmu lalu mengembalikan kiblat imanmu untuk menerima penghakiman terkhir…..


(puisi ini secara terbuka menyatakan tidak setuju.....pembukaan tambang di daerah pertanian rakyat dan pesisir pantai di bumi Minahasa......)

Benderaku memucat, Jenderal !!!!......

(memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia,17 Agustus 1945 / 2009)


ketika …..darah merahku terkuras di tanah tanah pertiwi merenta

dan tulang putihku berlumut jelaga memburam …mengelam

karena serbuk emas,perak dan butiran manikam menguap bersama kabut hitam menutup ruang paru ku

lalu pucuk pucuk meranti, pun kulit merbau, gugur terkelupas meluruh menguapkan tirta buana…menandus

maka samuderaku mengamuk membadai …menolak mengawal pantai mengkeruh

dan karang menghitam..beracun… penanda zaman kiamat


benderaku memucat, Jenderal !!

ketika…perawan perawan lugu berdada hampa mengiring kesuma kesuma negeri

yang gugur tak bernyali dalam terkaman cuaca

lalu para pendulum keadilan berdandan mulut serapah palsu berikrar ….membual

membuai anak anak pulau berperut busung…. geligi mengkertak… lapar dan marasmus

membekukan kepala anak anak langit kosong menggosong

pada meja meja sekolah keropos diantara pekarangan sempit melunglai derap kaki


aku di sini, Jenderal !!!!

dengan sisa darah mengental dan tulang tulang melapuk berkeriapan…

menunggu komandomu memerahputihkan kembali bendera negeri yang pucat …kumal

jangan kau gadai jiwa negeriku….karena darahku kan meluap…hingga tubuh ini mengering…..


IKRAR LEILA....


ku hapus air mataku

yang lamas membahasahi burkamu umi…

lembutnya kafan sucimu

meneduhkan gemuruh luka jiwaku

ketika kau pasrahkan nyawamu padaku

dalam pelukan malam berposphor


ku titip Husein …adiku tercinta di sampingmu…

mengiringi tidur sorgawimu……


pergilah umi……

bawalah Huseinku…..

sorga begitu layak bagimu……


kan kubersihkan serpihan serpihan ketakutan

kan ku tanam puing puing kegetiran

kan ku balut bilur bilur sembilu

pada tubuh tubuh bangsaku….


ku asmakan janjiku

di sini……..di tapal batas keangkaraan

kan ku bangun bangsa ini…..

merdeeeeekaaaaa!!



(mengenang pejuangan perempuan2 Palestina---- oleh Marieta)

ballada kelamin kelamin

hari itu tanggal satu bulan satu tahun satu ada ritual ilahi
Tuhan menenun kelamin kelamin
untuk mengalir cairan hidup.. merah ..putih…
dan dari liang yang lentur itu
keluarlah kepalamu … kepalaku…
berisi semua huruf huruf .. angka-angka .. garis garis,noktah noktah
warna warna .. dan mimpi mimpi
tiap hari melekat dekat merekat….nikmat dalam cinta

berjuta bahkan triliunan tahun kemudian
hari ini tanggal 13 Mei tahun 1998 ada ritual birahi
kelamin kelamin berseliweran tanpa arah
liar….menusuk merobek mengumpat
dan liang liang memerah itu meradang … luka dalam dendam…..
beling…linggis dan lidi…. mengatup…menyumpal memandul
sssssssssuuuuu aaaaaaakkkkkiiiiiittttt aaaauuuuuuuuwwwwwwwwww

lelaki lelaki berkelamin kekar itu…..membuka celana tanpa malu
karena Tuhan tidak lagi menenun …
lalu mereka menjadi tuhan……


(Mei 1998...tribute buat "May Lan" dan teman2 in somwhere)
Mengenang perkosaan Mei: MARIETA

KAWAT BERDURI


gerai idemu telah memasung angan remajaku
yang kugantung seluruhnya pada sekat tajam berkawat
kau menoreh huruf huruf indoktrinasi beracun dalam bentangan otakku
lalu kau gelar di halaman istanamu…..
kini kau merasa aman
membelai dada yang tidak pernah berdegup
karena sanubarimu membaal

pilar pilar berduri kau deretkan dipekarangan rumahrakyatku menyekap jiwa sembiluku yang menjelata
lalu mimpi mimpi merdekaku yang kuselip di lambaian janur berpenjor
rontok bersama buah nyiur yang belum meranum…..

aku lapar…aku dahaga…..
aku terpenjara…di balik paku berkilaumu
yang mendurikan mulutku membungkam…
hai begawan degil
disini di pelataran ini
aku menjad bodoh……

(by marieta…….saat demonstrasi mahasiswa 12 Mei 1998)

EPIKLESE PEMILU 2009 : KATA LAWAN KATA

Dalam khotbah kerakyatan mereka bertempur

kata lawan kata


Dengan wajah wajah beku mereka membusung dada

kata lawan kata


Dengan tangan mengepal mereka mengangkat kepala

kata lawan kata


Mereka berkata dengan wajah beku

Mereka berkata dengan membusung dada

Mereka berkata dengan mengacung kepalan

Lalu mereka berjanji

kata lawan kata


dalam lembaran lembaran kertas tercabik

dalam gelungan spanduk mengkumal

Maka tercabiklah dan mengkumalah mereka

dalam janji …..kata lawan kata…….



Marieta

1 Januari 2009

SYAFAAT UNTUK BANGSA MERDEKA

Saatnya lutut melipat

di atas bentangan selimut derita kemanusiaan ini…ya Sang MAHA

sementara telapak telapak itu ‘kan berlanjut menelapak teriknya semburat mentari

melayari genangan kampung kampung sepi berlumpur

dan…gesekan geligi mengilu menembusi gendang pendengaran menuli

karena keimanan pupus dalam dahaga bangsaku

……..bangsa merdeka …..


wajah wajah getir kelu tak berirama

teruruk dalam deru geraman purnama purnama kelabu

memucatkan aura kesahabatan kami

mengubah rona pasi benderaku dan tengilkan persaudaraan kudus negeri

lalu mereka bertuah pada penjagal penjagal nurani

karena pergulatan keserakahan bangsaku

…….bangsa merdeka….


kepala kepala kecil ini kembali menengadah

pada bentangan lazuardi keadilanMu ya Sang MAHA

tangan tangan mungil ini menatang dalam hening syafaat sunyi…….

hanya kecil…. mungil melemah…

katakanlah…katakanlah…. dengan keperkasaan KASIHMu

jalan jalan bangsaku di tanah merdeka ini .......


Marieta

31 Des 2008

UU DAN PERDA BERBASIS AGAMA DI INDONESIA

UU DAN PERDA BERBASIS AGAMA DI INDONESIA

Semangat penegakan “moral” yang mengancam Kebhinekaan Bangsa

Pdt.Emmy Sahertian,MTh

Steering Committee ANBTI


(Tulisan Utk.Majalah Berita Oikumene PGI)

Dalam data jaringan Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika (ANBTI), tercatat sekitar 132 PERDA bernuansa agama aktif yang sudah berjalan, dan akan menyusul ratusan raperda sejenis yang sedang menanti disahkan.Sebagian besar perda tersebut berorientasi pada salah satu agama yang disebut “agama yang resmi diakui” di Indonesia sehingga dampak konflik laten maupun terbuka cukup memprihatinkan ketika sebagian besar masyarakat yang selalu dianggap “tidak resmi” merasa diperlakukan tidak adil dan diabaikan dalam akomodasi keadilan Negara. Yang lebih memprihatinkan lagi adalah banyak dari produk hukum ini bertentangan dengan Pancasila,UUD 1945 dan Bhinneka Tunggal Ika.

Menguatnya kontroversi “agama resmi” atau arus utama dan agama adat

Beberapa pertemuan regional ANBTI yang sudah di lakukan di 3 simpul wilayah yakni Kalimantan, Sunda Kecil (NTT,NTB,Bali)dan Papua, serta bulan Februari lalu di simpul Sulawesi dan Maluku mulai mendengungkan adanya suatu ancaman yang lebih kuat akan disintegrasi sosial yang bukan tidak mungkin akan berdampak pada disintegrasi bangsa. Mulai terasa juga bahwa di daerah-daerah yang sudah menerapkan perda bernuansa moral dan agama mengalami mobilisasi demografi berbasis sektarian dan primordialisme, dimana perpindahan penduduk ke daerah pemukiman tempat di mana mereka terakomodir secara sosio-kultural dan agama kini menjadi pertimbangan aman. Mobilisasi demografi tersebut terjadi karena pertimbangan keterancaman. Tercatat beberapa isu yang muncul seperti ancaman terhadap suku-suku asli yang masih memiliki adat dan kepercayaan seperti Kalimantan: beberapa kompleks kepercayaan suku Dayak a.l.Kaharingan, Manyan,dll; di,Papua: Koreri, HAI,dll;Sulawesi dan Talaud:ADAT Musi, suku Banti, dan 5 suku lain di Minahasa, Komunitas Bishu, Suku Kajang,masyarakat adat Polewali Mandar; NTT: Agama Halaik Boti, Marapu dan masih ada banyak lagi sekitar lebih dari 200 dalam catatan AMAN Indonesia. Banyak juga dari mereka yang tidak memiliki status sipil karena agama mereka tidak diakui dalam status kependudukan Indonesia atau demi anaknya diterima di sekolah maka mereka terpaksa memilih salah satu agama yang diakui. Pergumulan tersebut telah lama berjalan dan telah mendorong munculnya gerakan advokasi hak-hak dasar mereka. Gerakan masyarakat adat ini semakin menguat ketika pengakuan Internasional terhadap keberadaan mereka adalah pengakuan berbasis HAM yang menjadi klausul dalam ratifikasi negara-negara peserta untuk isu hak-hak SIipil dan Politik (SIPOL) serta hak hak Ekonomi,Sosial dan Budaya (EKOSOB). Indonesia adalah salah satu negara peserta yang baru saja selesai meratifikasi Kovenan internasional tentang EKOSOB. Dengan lahirnya berbagai perda-perda bernuansa agama yang cenderung tidak kompatibel dengan upaya penegakan HAM di Indonesia berdampak pada menguatnya kontroversi isu dan kebijakan yang bernuansa agama arus utama serta masyarakat adat dan kepercayaan di berbagai daerah. Kesenjangan yang besar terjadi antara keterlibatan negara dalam penegakan HAM dengan implementasi kebijakan negara yang tidak berpihak pada kalangan minoritas. Padahal indikator penegakan HAM bagi negara peserta ratifikasi adalah perlindungan terhadap hak kaum ninoritas atau kaum yang dilemahkan.

Dikotomi “Mayoritas” dan “Minoritas”

Kondisi di atas diperteguh dengan berbagai produk Undang-undang negara yang memberi kekuatan pada penerapan perda-perda tersebut. Sebut saja UU 23/2006 tentang ADMINDUK dan UU no.44/ 2008 tentang Pornografi, disamping beberapa UU sebelumnya yang dinilai oleh para pemantau HAM dan Pluralisme, sebagai ancaman kebhinekaan Indonesia yang adalah jati diri bangsa (diskusi publik Pentingnya Pluralisme Demi Menjaga Keutuhan NKRI di gedung Nusantara I, Jakarta, Selasa, 17 Maret lalu).

Produk UU tersebut selalu mengacu kepada kekuatan mayoritas yang secara kuantitatif dianggap sebagai acuan diloloskannya suatu perundang-undangan (voting). Menguatnya visi keagamaan dan pengabaian visi kebhinekaan Indonesia dalam diri para anggota legislatif menegangkan proses demokratis penyusunan perundang-undangan yang mestinya mendidik masyarakat untuk saling menerima dan menghargai perbedaan tanpa harus saling melukai. Maka dikotomi mayoritas dan minoritas menjadi hitungan mendasar dalam menyusun kebijakan negara di level legislasi. Padahal bila dipetakan secara proporsional maka yang disebut sebagai golongan minoritas di dalam bangsa ini mempunyai sumbangan yang luar biasa dalam pembangunan bangsa dan mereka adalah manusia- manusia berharga yang pernah dimiliki bangsa ini. Ungkapan mayoritas minoritas kuantitatif ini telah menjadi hegemonik pergaulan keagamaan di Indonesia yang pada gilirannya telah dimanipulir menjadi konflik terbuka di beberapa daerah seperti Maluku, Poso, dan konflik konflik pemekaran serta PILKADA di beberapa daerah. Hegemoni keagamaan ini kemudian menonjolkan aspek “moral” dari sudut pandang masyarakat mayoritas yang akhirnya mendorong upaya penyeragaman kultur dan formalisme etika berbangsa dan bernegara.

Lebih menyedihkan lagi ketika dikotomi ini ternyata berakar pada apa yang disebut “pluralisme-phobic” yang terdapat pada agama-agama fundamentalis arus utama dimana secara mekanis menghubungkan pluralisme dengan sinkretisme sehingga kebhinekaan menjadi sesuatu yang menodai kesucian beragama.

Semangat penegakan “Moral” yang mengancam Kebhinekaan Indonesia

Bila kita pelajari kata demi kata dari klausul-klausul Undang Undang dan PERDA bernuansa agama itu maka adagium utamanya adalah “moral”, agar bangsa ini ditegakan moralnya. Tapi bila kita menyimak bagaimana implemntasi perda-perda ini sangat diskriminatif dan ambigu. Misalnya tentang maksiat dan pornografi, ungkapannya adalah melindungi perempuan dan anak tetapi obyek hukumnya justru mereka yang menjadi korban dari sebuah system masyarakat patriarkhat serta kebijakan negara yang memberangus keterampilan hidup karena jenjang kemapanan domestikasi status dalam kultur, agama dan kebijakan negara. Korban korban itu selalu perempuan dan anak.Tentang Pancasila dan kebhinekaan menyangkut persoalan budaya, maka budaya yang “ekologik” yang memilih tidak menutup tubuh berabad abad lamanya, disubordinasikan sebagai budaya yang perlu “diadabkan” dengan menutup tubuh padahal kejahatan kriminal yang bernuansa moral paling banyak dilakukan oleh orang yang berpakaian lengkap.

Pertanyaan kritis yang perlu menjadi dasar perenungan kita adalah apakah produk politik ini akan menjamin penegakan moral? Apakah persoalah moral yang adalah persoalan keagamaan bisa terbantu dengan produk politik yang cenderung ekslusif serta menyempitkan kemanusiaan dan kebangsaan Indonesia? Kenyataan membuktikan bahwa produk produk politik ini telah mengancam kebhinekaan Indonesia yang pada gilirannya akan mendorong konflik dan disintegrasi sosial.

ARTIKEL LEPAS

MEEERDEEKAAA !???!!

Photo of Pastor Gustavo Gutierres (google search), a Brazillian Liberation Theologian

Merdeka adalah sebuah kata pendek....istilah yang dimelayukan dari kata Sansekerta Mahardikha yang artinya bebas dari penindasan. Hari ini tanggal 17 Agustus, HUT kemerdekaan bangsaku Indonesia, dan karena kebetulan hari Minggu maka pasti khotbah-khotbah menyitir tentang kemerdekaan Indonesia. Aku senang atas tulisan Rikhard Bangun tentang neo-sosialisme yang lebih pragmatis di Amerika Latin di Kompas tanngal 16 Agustus, terutama ketika mereka mengikuti Pastor Fernando Lugo yang SVD yang notabene adalah presiden Paraguay mulai berfungsi sebagai presiden. Peranan teologi pembebasan yang menjadi hasil pergumulan para pastor seperti Paul Freire, Gustavo Gutierrez, Oscar Romero termasuk Fernando Lugo yang telah lama menjadi konsumsi penelaahan teologis di STT Jakarta dulu kini mulai kembali terngiang di otakku. Teologi ini dimulai dari pengembaraan pergumuln bersama kaum miskin yang diperdaya kekuasaan untuk melegitimasi kesucian kaum elit dan kaya dalam masa-masa perang dunia II, era perang dingin dan neoliberalisme, lalu kaum buruh,tani dan pekerja harian kasar (baik domestik maupun migrant) yang dimanfaatkan sebagai mesin kapitalis. Pengembaraan itu lalu melahirkan hipotesis yang masuk ke wacana-wacana pelayanan community development dan politik.....kini memasuki sisi pragmatis: action for the needy and or the poor.

Memanfaatkan fenomena baru Amerika Latin sebagai kacamata untuk menyorot kemerdekaan Indonesia... sangat jelas bahaya yang terjadi di negara kita tinggal selangkah lagi ketika kekuatan kaum demokratik terpecah, kenbanyakan kekanak-kanakan, malah ada yang korup....maka kekuatan luar yang berpusat pada para pemodal dan investor serta penguasa pasar global akan menjerat kita habis-habisan. Dan ini merupakan sebuah penjajahan baru bagi Indonesia setelah mengalami penjajahan secara politis kini bergeser menjadi penjajahan ekonomi yang dampaknya luarbiasa bagi kondisi sosio-spiritual. Rasanya hampir semua orang telah kehilangan spirit kemerdekaan karena penjajahan itu sudah merasuk hingga cara berpikir, dan cara berperilaku. Ruang-ruang berpikir kita telah dibajak habis oleh cara berpikir kapitalis ketika orang mulai berhitung untung rugi dalam relasi kemanusiaan, orang mulai melihat lebih banyak terhadap diri sendiri bagaimana memanjakan dan menikmati diri sendiri sementara sesamanya yang mungkin tetangganya atau mungkin kampung sebelahnya sengsara minta ampun;orang yang memanfaatkan proyek kemanusiaan untuk keuntungan diri sendiri lalu komitmen dan belas kasihannya menjadi singkat,sesingkat proyek-proyek itu sendiri; orang yang melihat Tuhan adalah untuk dirinya sendiri lalu doa-doanya menjadi sangat asketik dan konsumtif....hanya minta berkat untuk diri sendiri.......dan yang lebih aneh lagi adalah cara kita memandang sejarah penjajahan Indonesia yang sangat ditentukan oleh rentang waktu...bukan bengisnya penjajahan itu sendiri. Sepertinya orang lebih teringat penjajahan Belanda yang sangat lama ketiban menyebutkan bahwa Indonesia merdeka dari Penjajahan Jepang. Mungkin teman-teman akan tidak setuju bila aku mengatakan bahwa dalam zaman penderitaan bangsa yang terpuruk ini mereka yang seperti itu bagiku tidak punya perasaan kemanusiaan atau baal kemanusiaan dan kehilangan nalar historis, bahkan telah menghianati kemerdekaan itu sendiri....dan mereka kembali terpenjara dan dijajah dalam diri sendiri.


Kali ini kemerdekaan Indonesia yang ke 63 tahun aku merenung seperti ini:
Aku berdoa kepada Tuhan agar hidupku dipelihara dalam bangsa ini dan bebas dari mara bahaya, namun yang diberikanNya adalah sejarah hitam statusku sebagai bangsa Indonesia yang dijajah Belanda, Inggris,Jepang...dan penjajah-penjajah lainnya. Aku berdoa kepada Tuhan agar kemerdekaanku menjadi abadi dan suci, ternyata Ia memberikan Soekarno yang poligamis, Soeharto yang represif, Habibi yang "nation converted",Gus Dur yang gampang terhianati, Megawati yang aportunis,SBY yang peragu.......dan ndak tahu siapa lagi. Lalu aku kini berhenti berdoa......dan mempersilahkan TUHAN YG BERTINDAK.......meskipun itu suatu kehancuran.....kita harus terima dengan lapang dada. Sama seperti riwayat para budak Ibrani setelah lepas dari Perbudakan di Mesir lalu exodus dan mendirikan sebuah negara. Tingginya ketidak adilan sosial yang mendera negara yang gamang statusnya apakah mau bersifat theokratik atau demokratik itu, akhirnya menyebabkan mereka kembali dibuang dan dijajah yang diyakini sebagai penderitaan "padang gurun" jilid II dan diyakini sebagai tindakan pemurnian TUHAN YG BERTINDAK LANGSUNG.

Sambil keluar rumah aku melihat jalan depan rumah sepi....dan hiasan bekas gelas plastik yang dicat warna merah dan putih,umbul-umbul serta bendera terlihat meriah......lalu mbak Ning dan mas Edy, sebuah keluarga yang adalah tetangga paling dekat tetap buka warung.....agar tetap hidup terlihat biasa biasa saja, kalam dan ndak heboh. Inilah kemerdekaan yang pragmatis yakni berusaha "TETAP HIDUP" dan tidak mau dijajah oleh euforia formalitas perayaan yang sering menghamburkan dana sia-sia demi sebuah prestise bangsa. Mungkin suatu kali bangsa Indonesia harus "time out" atau jeda perayaan perayaan itu, dan uang seremonial itu dapat dimanfaatkan untuk mendongkrak tingkat pendapatan rakyat miskin dan terpencil. Kita baru buat perayaan apabila rakyat-rakyat itu mulai meningkat kehidupannya.....ini pragmatis saja. Tapi pasti banyak yg bilang gue ini naif dan idealis, karena tiap tahun rakyat butuh sublimasi penderitaan...dan sublimasi ala Indonesia itu adalah "perayaan-perayaan" formalitas itu....meerdeekaaa.


Sebuah Catatan Singkat tentang NATAL dan ADMINDUK



NATAL adalah kata yang sangat erat kaitannya dengan persoalan "reproduksi" baik perempuan dan laki-laki. Kali ini terjadi pada seorang ibu muda hamil besar namun karena tuntutan politik negara untuk mengadakan pendataan kembali penduduk maka mereka harus kembali ke tanah kelahiran mereka di Nazareth, Propinsi Iudea. Semua tempat di kota sudah penuh... mereka harus berjalan dan singgah di Bethlehem, sebuah desa kecil. Di situ pun semua penginapan penuh....yang tertinggal adalah sebuah kandang. Dengan sangat terpaksa Perempuan hamil itu dan suaminya menginap. Keberadaan mereka di kandang domba ini disinyalir karena mereka adalah orang sederhana yang memiliki uang pas-pasan untuk menyewa sebuah penginapan.
Kepekaan untuk melihat pentingnya keselamatan ibu dan anak dalam peristiwa reproduksi tampaknya sangat luntur sejak zaman dulu. Negara sebagai yang mempunyai "power" untuk memberi akses perlindungan dan kenyamanan bagi para pengungsi, ternyata hanya mementingkan apa yang disebut kewajiban negara untuk mendata adminduk tanpa melihat bahwa pendataan itu merupakan panggilan untuk memberi kenyamanan,keamanan, status dan akses kesejahteraan.
Peristiwa kelahiran di kandang domba merupakan cerminan kekuasaan negara yang tidak memberi perlindungan bagi warganya terutama "Ibu dan Anak". Maklumlah ini hanyalah sebuah wilayah jajahan.
Aku mencoba memahami Natal yang dialami dalam negaraku Indonesia ini maka aku teringat akan UU ADMINDUK (lupa nomernya) di Indonesia. Mestinya UU ini adalah sebuah panggilan moral negara untuk memberi status dan perlindungan sipil bagi rakyatnya termasuk para ibu dan anak2......ternyata masih banyak yang merasa terancam karena dalam KTP masih ada dikotomi kolom agama resmi dan tidak resmi........mereka yang distigma sebagai agama suku,adat atau agama lokal sedang bergumul dengan status sipilnya karena terjadi diskriminasi kolom agama. Masih banyak rakyat Indonesia terutama perempuan dan anak belum mempunyai status perkawinan yang jelas karena termasuk dalam agama suku dan adat lokal yang tidak diakomodir negara, berdampak pada status anak2nya yang harus masuk sekolah. Sebagian memilih masuk ke agama-agama besar agar bisa diterima dalam masyarakat maupun akses pekerjaan.Sebuah keterpaksaan yang membungkamkan keberagamaan mereka secara tulus, jujur dan bermakna bagi kehidupan. Agama menjadi sebuah simbol formalistik yang melanggengkan kemunafikan.
Seperti Maria dan bayi Yesus.....yang tidak mendapat perlindungan yang layak dari negara maupun masyarakat yang sadar akan apa artinya kemanusiaan....maka masih banyak rakyat Indonesia yang merasa terancam hak-hak sipil dan kependudukannya........mereka bagaikan pengungsi dan penumpang sementara di negaranya sendiri. Tuhan...Apa yang dapat kami lakukan, tolong beri kami kekuatan untuk melangkah...
SELAMAT NATAL 25 Desember 2008

Dialog Budaya ADAT Musi Talaud,Upacara Pengakuan Dosa, Syukuran Panen pertama


Hari Kedua à Jumat, 29 – 08 – 08

Dialog Budaya Spiritual
09.00 – 09.30 Acara Pembukaan
- Ucapan Selamat datang
- Doa : Pemimpin Organisasi Adat Musi
- Laporan Panitia oleh : Ketua Panitia Bpl A.N Sapoh
09.30 – 11.00 - Diskusi Sesi Pertama : - Kepala Dinas kebudayaan dan
Pariwisata Kab. Kepulauan Talaud.
Oleh : Bapak R. Adam
- Kapolres Kab. Kepulauan Talaud
Oleh : Wakapolres Grubert T.Ughude
11.00 – 12.30 Tanya – Jawab Sesi Pertama

12.30 – 12.45 - Diskusi Sesi Kedua : - Nasum ANBTI Jakarta Oleh :
1. Pdt E. Sahertian
12.45 – 13.45 - Makan Siang
13.45 – 14.00 - Kelanjutan Diskusi Nasum ANBTI Jakarta : 2. Ellen Pitoi
14.00 – 15.30 - Tanya Jawab
15.00 – 16.00 Penutup
1. Ucapan Terima Kasih
2. Doa Penutup
3. Selesai
Ritual Umanna Amme Wakku (Ucapan Syukur Panen Padi)
18.00 – 19.00 - Makan Malam dengan Syarat :
1. Semua Peserta acara berpakaian putih dan tidak boleh warna
Merah
2. Semua Peserta acara duduk membelakangi laut atau menyanping

4. Kelengkapan Ritual :
1. Padi hasil panen
2. Lauk pauk hasil usaha sendiri.
3. Air pancuran untuk di minum

Ritual Manattull Sala (Ritual Pertobatan / Pengampunan Salah dan Dosa)
· Semua Masy. Adat Musi Berkumpul di tempat Ibadah termasuk anak-anak juga.
· Acara dipimpin seorang perempuan dengan pengecekan satu per satu keluarga yang hadir dan apakah semua keluar dalam keadaan sehat-sehat. (Mamanggo Amonanna)
· - Doa Pembukaan (Alioman Su Mawu)
- Petuah dan Nasehat sehubungan dengan Pertobatan (Wawa’e / Tatuladda)
· Bersama-sama mengaku salah dan dosa dihadapan Tuhan (Tatattullu Sala)
· Doa Khusus kesembuhan (Paramisi).

Jumat, 03 Oktober 2008

Rumah Doa


Pkl 15.00 - 16.30
Doa Bersama di Bukit Duanne tempat Pewahyuan kepada Tokoh Spiritual Penghayat Kepercayaan ADAT Musi, Talaud: Bawangin Panahal
· Proses Ritual
1. Pembersihan diri (Berlimau) sebelum naik ke Bukit Duanne Masyarakat yang akan ikut ritual harus Minum air yang diambil dari mata air Pencurang yang udah di campur dengan air jeruk nipis.
2. Pembukaan gerbang dan ada 2 orang penjaga langsung mempersilakan orang untuk masuk.
3. Gerbang puncak (2 orang) mempersilakan masuk pelataran untuk berdoa.

· Masuk Untuk doa Bersama à Wakil-wakil golongan agama dan penghayat kepercayaan dipersilakan masuk, di ruangan doa khusus, dan ruangan ini terpisah dengan masyarakat lain. (dibukit Duanne ada 2 bangunan tempat berdoa, 1 khusus untuk pemimpin, golongan agama, dan 1 utk warga)
1. Manattullu Sala (Pemimpin Penghayat diikuti warga Penghayat).
2. Doa bersama sesuai dengan nomor urut masing (doa bersama ini dipimpin oleh golongan agama masing-masing)

· Penutup
1. Ucapan Terima Kasih
2. Selesai

Pkl 19.00 – 21.00
Diskusi khusus dengan masyarakat penghayat Kepercyaan Musi sekitar 26 orang laki-laki dan 4 orang perempuan, memang kelihatan budaya di masyarakat Musi peran kaum perempuan lebih berperan pada urusan domestik.

Upacara Meminum Air Suci dan Mendaki ke Bukit Duane, Musi, Talaud




Perempuan Berdaster

sambil memandang kemben dan gelungan sanggul
yang berhamburan terlepas dilantai berpapan
mulutnya bersiul.....melantunkan kebebasan
"kini aku telanjang..bersih ...dan aku bebas memakai dasterku lagi
daster kemerdekaanku"
(dari puisi "siul kemerdekaan" by : Marieta)

Dalam menyambut Hari Kartini 21 April 2009 ini, tempat kami masih disinggahi para perempuan berdaster yang menerobos keluar dari jeruji kekerasan dalam rumah tangga...mengerikan bila dibahas. Namun sekedar mengingatkan bahwa perjuangan perempuan tidak lagi melawan kultur patriakhi saja yang selalu memenjarakan dirinya dan telah menutup kemanusiaannya hingga ia tidak bisa memiliki apapun kecuali hatinya yang miris. tapi perjuangan yang paling berat adalah ketika ia harus mengumpulkan serpihan keberanian yang sudah tersebar di hati kekasihnya dan atau suaminya dan atau anak-anaknya dan semua orang yang singgah di kehidupannnya, dengan susah payah dikumpulkannya dan direkatkan kembali agar menjadi satu kekuatan yang menopang kehidupannya...sehingga dalam proses pengukuhan itu sering ia dijuluki "sibawel"..."si sok tahu" ..."sikepala batu" ...."si pesolek".."si aportunis".malah "sipenghianat" dan si..si..yg lain, yang membuat orang menggeleng tak percaya. namun tidak sedikit yang sudah mencapai keutuhan jiwa seperti "si perempuan bijak"..."si cantik intelek"..."si pahlawan kemanusiaan"..."si guru pemerhati"....dan banyak lagi...
Aku begitu tersentak ketika berhadapan dengan seorang perempuan bijak yang rupawan,istri yg lembut hati dan sang guru pemerhati yang rupawan ...disiksa suaminya baik secara psikologik dan pisik ...kembali aku menggeleng kepalaku sambil mencoba menelusuri mendalam apa yang telah terjadi di wilayah terdalam dari relasi dan kehidupan mereka ....wilayah yang paling asazi seperti di tempat tidur, meja makan dan di ruang-ruang keluarga....tetap saja ku temukan bahwa di ruang-ruang itu dia adalah perempuan anggun dan sexi, cekatan dalam menyaji makanan dan lembut hati...tapi .mengapa dia disiksa???
sampai detik ini belum kutemukan jawaban kecuali hanya mencoba memandang dengan mata yang lain...melihat dari kaca mata "lelaki" ...at last baru aku sedikit memahami, bahwa perempuan ini begitu "sempurna" hampir mendekati malaikat...sementara selama ini sebagian besar "lelaki" sering menempatkan diri sebagai Tuhan-Tuhan kecil di bumi ini dalam berbagai peran baik di tempat tidur, di meja makan di ruang keluarga dan di pentas publik....lalu ketika perempuan itu menjadi sempurna ada rasa tersaingi maka kebanggaan kultural yang sudah terpatri sejak dikandungan ibu itu terusik, maka ia akan meradang dengan berbagai cara....dan yang paling ekstrim adalah ketika kekerasan pisik diekspresikan sebagai manifestasi "Power on"....jadi dalam tamparan dan pukulannya itu ia ingin mengatakan bahwa "aku adalah TuhanMu....jangan ada ilah lain dihadapanku".......

dan seperti perempuan berdaster itu.....selalu dalam keadaan darurat mereka akan melarikan diri dari himpitan kekerasan dengan bermodalkan daster di tubuh...sebuah lambang domestikasi perempuan. Bila ia berani menerobos dan keluar dari sekapan tirani domestik itu maka "daster" bagiku adalah pakaian "pembebasan" seorang perempuan.....
Akhirnya dengan semangat Kartini, aku ingin menyerukan....keluarlah wahai perempuan dari lembah-lembah kekerasan itu....satukanlah serpihan-serpihan keberanianmu dan melangkahlah dengan pasti....Tuhan akan mengawalmu hingga akhirnya....

Selamat Hari Kartini, 21 April 2009

"Massage from Meratus"

Berada bersama masyarakat penganut agama Kaharingan di pegunungan Meratus, Kec. Loksado,Kalimantan Selatan melalui 'action dialog' pemuda lintas agama, merupakan pengalaman yang luar biasa. Mengubah berbagai perspektif yang selama ini salah tentang apa itu agama dalam konteks kebhinnekaan amat penting dalam arti bahwa keberagaman iman ternyata merupakan kekuatan yang maha penting dalam mempertahankan negeri tercinta Indonesia. Sejak tanggal 4 Mei 2009 aku dan Awigra dari ANBTI bergerak dari Jakarta menuju Banjarmasin. Menghadiri kamp pemuda lintas agama yang inisiatifnya LK3 Banjarmasin, FORLOG Kalimantan Selatan,ANBTI dan Dian Interfidei. Acara ini dimulai pada tanggal 5 Mei, dengan seminar di bawah tema "Masa Depan Pluralisme Paska PEMILU 2009" dengan Narrasumber Kiyai Ilham Maskuri Hamdie dan Uskup Petrus Boddeng Timang. Setelah itu peserta yang berjumlah sekitar 30 orang terdiri dari para pemuda Islam, Protestan,Katolik dan Hindu itu berangkat menuju Loksado, Peg.Meratus. Kami berada di sana selama 4 hari untuk merasakan dan mengalami sendiri kehidupan para penganut Kaharingan di desa Malaris dan komunitas Dayak penganut Kaharingan, Kristen dan Islam di desa Muara Ulang peg. Meratus. Hal yang menarik dari perjumpaan ini adalah ketika para pemuda lintas iman ini tersadar bahwa agama dalam konstruksi Indonesia ternyata ada banyak ragamnya, bukan hanya 6 agama yang selalu diakui oleh masyarakat negara, tetapi juga ada agama rakyat seperti Kaharingan dan beratus lainnya tersebar di seluruh Nusantara. Kebersamaan ini kemudian diperteguh dengan mengunjungi dan mengalami kehidupan sehari-hari masyarakat peg.Meratus yang mayoritas penganut Kaharingan itu. Malam pertama dan kedua.kami tinggal di rumah panjang atau balai adat Kaharingan Malaris dan menikmati kesederhanaan tidur beralaskan tikar....lalu ramai-ramai mandi di sungai.....luar biasa. Setelah dua malam berada dengan masyarakat Malaris, kami kemudian bergerak bersama mereka menuju Desa Muara Ulang dengan menggunakan Lanting atau Rakit Bambu. Acara ini dikemas dengan gaya anak muda yaitu 'rafting'. Tiap rakit dihuni oleh 2-4 orang beragam agama termasuk 2 orang joki dari Malaris yang notabene adalah penganut Kaharingan. Perjalanan lintas alam ini sungguh membuka ruang kemanusiaan kami bahwa dalam ketulusan dan persahabatan ternyata Tuhan begitu dekat tanpa harus mempersoalkan agama siapa yang paling benar......Di desa Muara Ulang, masyarakat begitu antusias menyambut kami. Di balai adat mereka kami juga tidur beramai-ramai, penuh dengan makanan sehat....dan mengadakan dialog interaktif dengan mereka. Di Muara Ulang 80% penganut Kaharingan, 15% Kristen dan 5 % Islam. Mereka hidup berdampingan secara damai. Ada beberapa kata kunci yang dilontarkan oleh mereka: Kekeluargaan, Saling menerima perbedaan, dan mereka menjaga alamnya sebagai peramu dan pengelola Hutan.... Persoalan yang mengganjal adalah:

*Hak sipil administrasi kependudukan sering menghambat untuk akses pendidikan, pekerjaan dan sumber daya.

* Masalah "Hutan Lindung" di mana masyarakat yang dulunya bebas memasuki kawasan ini, kini dibatasi padahal itu adalah hutan inti dalam konstruksi kultur pengelola Hutan Masyarakat Meratus.

* Masalah Fungsi dari Persekutuan Adat yang sering disalah gunakan untuk kepentingan politik.

* Pendidikan bagi anak-anak Kaharingan yang sering tersendat karena kekurangan guru serta fasilitas yang jauh dari daerah pemukiman

Yah...ini sekedar catatan perjalananku ke Meratus....sebuah alam dan kemanusiaan yang belum tersentuh konflik dan politik penyeragaman.

Bersama Para Perempuan Perkasa di Kupang, NTT

Sabtu, 26 Juli 2008


Pertemuan Raya Jaringan Perempuan dan Politik bagi Perempuan NTT Calon legislatif 2009 di Kupang mengusung beberapa isu strategik tentang bagaimana mengisi quota 30% secara strategik dan berkualitas.Keynote Speaker adalah GKR Hemas dari DPD di dampingi Nia Syarifudin yang dalam hal ini mewakili kelompok pemantau independen keterwakilan perempuan dalam politik, juga saya yang bersama mereka memanfaatkan kehadiran di Kupang untuk konsolidasi jaringan ANBTI untuk pertemuan regional ANBTI di Kupang nanti. Pertemuan yang berlangsung dari tanggal 24-25 Juli itu cukup membuktikan bahwa perempuan NTT kuat dalam jaringan untuk peningkatan peran dalam politik,sosial dan budaya baik pada tingkat desa, kecamatan, maupun propinsi pada berbagai sektor khususnya eksekutif maupun legislatif.Secara cepat dan pasti konsolidasi kekuatan perempuan pada berbagai lini ini mulai digalang dalam memasuki pentas politik 2009 nanti. Dalam koordinasi persiapan acara terasa bahwa peranan Biro Pemberdayaan Perempuan Pemprov.NTT benar-benar berfungsi sebagai katalisator yang menggerakan jaringan dari berbagai sektor. Pertemuan yang dihadiri oleh lebih dari 50 orang perempuan yang mewakili berbagai sektor seperti beberapa partai, pendidikan, dan pelayanan masyarakat baik di tingkat kecamatan dan kabupaten ini menjadi berharga ketika berhasil membangkitkan motivasi positif keterlibatan perempuan dalam politik di bumi FLOBAMORA ini.

Perempuan NTT dan Partai Politik??

Berbicara tentang pentas politik 2009 maka tentunya kita perlu menoleh lebih dalam mesin-mesin politik yang berpusat pada partai partai yang tumbuh menjamur. Itu berarti perempuan mempunyai peluang untuk mengisi komposisi yang diwajibkan kepada setiap partai. Tantangan terbesar yang dihadapi oleh para perempuan NTT adalah ketika pada level propinsi dan nasional selalu bergumul mencapai quota. Sistem kampanye dan pendanaan yang belum berpihak pada perempuan membuat mereka banyak terjegal oleh strategi partai yang "male-oriented". Pernyataan yang selalu menjadi alasan adalah banyak perempuan yang bisa dicalonkan tetapi masih sedikit yang punya kompotensi. Bahkan masih cukup banyak perempuan yang masih merasa kurang percaya diri untuk terjun secara total padahal mereka mempunyai kompotensi yang unggul.
Maka, pertemuan raya ini menjadi penting untuk bersama membangun kekuatan untuk saling membagi spirit. Mereka belajar mengelola kekuatan dan mereduksi persaingan yang kontraproduktif.
Gerakan yang dimotori oleh para perempuan di sektor eksekutif dan pendidikan ini membawa pembaruan konsep tentang peran dan posisi perempuan dalam politik yang dulunya sangat ditabukan. Peluang yang ada adalah mengisi komposisi partai-partai potensial pada level kabupaten dan propinsi.

Konsentrasi pada 2 Pemilu 2009 dan 2014

Untuk memperkukuh peluang dan peran maka diperlukan fokus yang terarah agar konsentrasi sumber daya dapat diarahkan. Oleh karena itu kami mengusulkan agar jaringan ini mengarahkan diri pada 2 pemilu ke depan dengan langkah pertama pada pemilu 2009 nanti.Metode kampanye yang diusulkan adalah kampanye kualitatif dengan megnutamakan pengembangan jaringan strategis bersama kelompok perempuan pada sektor pelayanan publik, kerja sama perempuan antar partai dalam kampanye kemanusiaan dan pengembangan masyarakat serta mengangkat isu-isu ekosob yang akrab dengan kehidupan keseharian masyarakat basis.
Untuk itu data base sangat penting baik SDM, peta permasalahan masyarakat dan akses sumberdaya materil lainnya.

Pentingnya pemahaman isu Perempuan dan Politik

Memahami berbagai UU,peraturan dan kebijakan baik politik dan sosial yang ada kaitannya dengan peran dan posisi perempuan amatlah penting bagi mereka yang ingin terjun dalam arena PEMILU 2009.Sekaligus keterampilan untuk komunikasi dan informasi serta mediasi sumber daya menjadi kebutuhan mendesak. Tentunya memerlukan serangkaian pelatihan yang bisa diakomodir oleh Pemprov NTT. Nia akan kembali dengan program pelatihan intensif bagi para perempuan NTT untuk keterwakilan dalam legislatif 2009 nanti.

Di mana peranan ANBTI?

Dalam rangka konsolidasi region Papua,NTT,NTB dan Bali di Kupang maka Jaringan Perempuan dan Politik NTT yang dimotori oleh para perempuan perkasa asal suku Rote,Sabu,Flores,Alor dan Sumba serta pulau-pulau lainnya ini merupakan komponen fundamental dalam menghimpun sumber daya perekat kebinekaan Indonesia nanti. Dalam konteks ini kehadiran GKR Hemas,Nia dan saya sebagai para penggiat ANBTI melobby dan memediasi konsep dan acara yang akan diadakan sekitar Oktober atau November nanti terasa bermakna. Surat sudah kami layangkan,lobby informal bersama Gubernur dan wakil sudah mulai dikembangkan maka peranan jaringan perempuan NTT dan keikutsertaan dalam pemantapan langkah-langkah konsolidasi regional nanti merupakan langkah penting dan strategik.

Catatan Untuk Launching "We Can" Indonesia Kampanye anti kekerasan terhadap perempuan, 21 Maret 2009

KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN

PERSPEKTIF KRISTIANI

Catatan Pengantar Diskusi[1]

Oleh:

Pdt.Emmy Sahertian,MTh

Sek.Komisi Gereja dan Masyarakat

Synode Am Gereja Protestan di Indonesia



I. Perempuan dalam perspektif Kristiani

Acuan kristiani tentang advokasi hak perempuan adalah pada apa yang diberlakukan Yesus. Ketika melalui proses “pemuridan”, Ia menempatkan perempuan setara dengan laki-laki. Hal ini terasa ketika Ia melakukan transformasi kultural melalui proses pembelajaran pendampingan orang-orang lemah, yang berbasis pada tafsir praktis nilai-nilai keimanan. Ia mencoba mempersoalkan keadilan dibalik hukum rajam keyahudian dengan membela seorang “perempuan yang dituduh berzinah”; Ia Membongkar kemapanan berpikir tentang domestikasi perempuan dalam kisah Maria dan Marta, Ia membongkar stigma diri seorang perempuan Samaria yang sudah ditiduri oleh lebih dari satu laki-laki dengan mencoba memberi makna baru pada status sosial perempuan itu. Ia juga menempatkan perempuan paling banyak dalam konstelasi pemuridan, meskipun yang tercatat dalam penuturan Injil-Injil Sinoptik hanyalah 12 murid laki-laki, tetapi Ia memiliki lebih dari 70 murid yang kebanyakan perempuan. Apa yang dilakukan Yesus merupakan sebuah gerakan transformasi atas kemapanan peribadahan yang telah menyempitkan kemanusiaan tempat yang seharusnya orang berkenalan langsung dengan kasih dan keadilan Allah yang tidak terbatas itu.

Perjuangan ini tidak terlepas dari apa yang melatar belakangi kehidupan peribadahan saat itu yakni kuatnya pengaruh tradisi Yudaisme pada lapisan pertama yang di kemudian hari berasimilasi dengan tradisi umat berlatar belakang Yunani-Romawi pada lapisan kedua.

Pada lapisan pertama ‘perempuan’ di gambarkan sebagai sesama ciptaan Tuhan yang setara. Kata “Imago Dei” atau “Citra Tuhan” adalah manusia laki-laki dan perempuan. Namun tradisi semitis yang patriarkhat menempatkan perempuan secara subordinatif dalam penerapan peribadahan dan dalam kehidupan sehari-hari yakni degradasi keberadaan perempuan dari “mahkota ciptaan” menjadi “penolong” atau dalam metafora yang sangat diskriminatif “tulang rusuk laki-laki”. Dalam sejarah peribadahan, perempuan tidak mempunyai posisi sentral fungsi jabatan imamat, atau pemimpin ibadah, kecuali secara karismatik dalam fungsi nabi (nabiah) yang tugasnya untuk bernubuat. Posisinya baru diakui apabila kondisi darurat, ketika umat harus mengahadapi berbagai tantangan dan ancaman misalnya dalam peperangan atau darurat politik seperti pembebasan dari perbudakan di Mesir. Dalam kehidupan domestik ada beberaqpa fungsi penting misalnya sebagai “Istri”, “pembantu”,”budak”.

Pada lapisan kedua di mana konteks tradisi kitab dan surat-surat pastoral Perjanjian Baru merupakan asimilasi tradisi Yudaisme dan Yunani-Romawi, menampilkan adanya sebuah upaya transformasi posisi perempuan dengan pusat pemberitaan pada Yesus, di mana posisi perempuan dijadikan setara dalam proses ‘pemuridan Yesus. Sayangnya penulisan sejarah pelayanan yesus dibuat dalam bentuk ‘kesaksian” atau “pemberitaan” dan didandani dalaqm perpaduan tradisi tersebut yang mengambangkan posisi perempuan. Hal ini kelihatan sekali dalam etika kehidupan berkeluarga. Ungkapan “istri harus tunduk pada suami sebagai kepala keluarga, dan suami harus hormati istrinya” menunjukan ketegangan posisi tersebut. Antara kata “tunduk” bagi istri dan ‘hormat’ bagi suami dalam konteks penulisan surat pastoral abad Sesudah Masehi merupakan kemajuan besar, suatu proses untuk menurunkan posisi laki-laki yang otoriter penuh. Di masa depan ketika ayat-ayat ini harus ditafsir dalam konteks masyarakat patriakhi maka perempuanlah yang ditekan dan otoritas laki laki menjadi tidak terkendali dimulai dari lingkup peribadahan dimana otoritas patriakhis disakralkan kemudian merasuk ke dalam konteks sosio-kultural.

II. Kekerasan Terhadap Perempuan

· Kontribusi agama : Ambiguitas konsep yang berdampak pada standar ganda advokasi korban.

Yang paling mendasar dan yang menjadi pengalaman berabad-abad adalah pada penerapan tradisi keagamaan dalam peraturan peribadahan. Konsep kesetaraan jender dalam kisah penciptaan diperhadapkan secara ambigu dengan Istilah-istilah subordinatif seperti :”tulang rusuk”,”penolong”, “perempuan milik keluarga” atau pada formulir pernikahan seperti : “tunduk kepada suami”, “apa yg sudah dipersatukan Tuhan tidak boleh diceraikan manusia” merupakan idiom tradisi keagamaan yang menghimpit kemanusiaan perempuan untuk menjadi dirinya sendiri. Konsep konsep ini disakralkan dan amat mempengaruhi sebagaian besar perilaku bias jender yang berdampak pada “kekerasan” yang diakui. Yang memprihatinkan adalah bahwa konsep-konsep ini tumbuh subur dalam kehidupan sosial kultural umat,

Beberapa kasus kekerasan dalam Rumah Tangga yang manifestnya pada kekerasan pisik mengacu kepada ungkapan-ungkapan di atas, yang kemudian dimanfaatkan untuk menjaga kewibawaan agama, sehingga kebisuan konspiratif ini justru menambah daftar kekerasan berbasis keimanan. Banyak perempuan yang menjadi korban kekerasan menjadi tidak berdaya untuk memperjuangkan haknya. Bila terpaksa harus bercerai, maka ungkapan-ungkapan di atas membuat mereka menghentikan langkah perjuangan untuk membebaskan diri dari lingkaran kekerasan sistemik tersebut, karena perceraian dalam pemahaman merupakan ‘dosa’ atau melanggar amanat Tuhan yang telah mempersatukan mereka. Beberapa gereja protestan mulai menyadari akan fakta kekerasan dalam rumah tangga yang terangkat ke permukaan sebagai kriminal terhadap kemanusiaan sehingga perlu diadvokasi melalui jalur hukum di mana “perceraian” dimungkinkan sebagai pilihan paling bijaksana dari kondisi kekerasan yang paling buruk (Domestic Crime). Namun belum semua gereja kristen sependapat sehingga berdampak pada standar ganda advokasi korban.

· Kontribusi sosial kultural

Kondisi sosio-kultural terbangun karena dibentuk untuk menjawab interaksi kehidupan bersama dalam suatu konteks atau kawasan bermukim bersama. Di sini posisi perempuan sebagai bagian dari medium utama kehidupan berkeluarga amat penting. Pada masyarakat yang laki-laki dominan, perempuan selalu dijadikan medium reproduksi untuk memelihara klan, ia juga bisa menjadi medium produktif bila keluarga atau masyarakat dalam keadaan krisis, ia bisa dimanfaatkan menjadi medium untuk melobby dan memediasi sumber daya dan kekuatan atau kekuasaan.

· Kontribusi Negara

Tantangan terbesar adalah transformasi kebijakan negara berbasis jender masih memprihatinkan. Kebanyakan kebijaqkan itu bias jender baik dalam kebijakan berupa produk hukum maupun rancangan pembangunan. Lahirnya UU PKDRT,Perlindungan Anak,Anti Trafficking mestinya bisa dijadikan kesempatan untuk merekonstruksikan masyarakat yang bias jender menjadi sebuah kesadaran bersama yang selanjutnya menciptakan kultur keadilan jender dalam masyarakat. Namun pertanyaan besar dengan diloloskannya UU no.44/2008 tentang pornografi menambah panjang langkah perjuangan perempuan di Indonesia.

III. Beberapa program yang sedang berlangsung

Gerakan transformasi simultan tiga aras penting, yakni agama,sosio-kultural dan kebijakan negara sedang berproses, perlu didorong lebih gencar.

Dalam Gereja, kami memulai dari rekonstruksi teologis yang dituangkan secara struktural pada program di aras nasional, wilayah maupun pada level lokal. Pada level-level ini ada “desk” yang melihat dan merancang program secara kategorial perempuan, laki-laki, anak, remaja dan pemuda, juga ada lansia. Memang prosentasi kegiatan terbesar baru pada tataran ritual. Namun sudah mulai ada upaya progresif dari kelompok teologi feminis yang mensosialisasikan program “membaca Kitab Suci melalui mata baru (perempuan)” yang cukup berhasil dan menjaring aktivis dari berbagai kalangan termasuk kaum laki-laki. Di harapkan gerakan ini akan ikut merekonstruksi sosio-kultural masyarakat yang tidak lain adalah umat itu sendiri. Pada tataran praktis beberapa pusat pendampingan perempuan yang dilakukan baik dalam bentuk gerakan LSM maupun dalam program gereja sudah ada meskipun terbentur pada belum meratanya pemahaman teologik tentang jender dan keadilan jender. Dalam tataran ini upaya pengembangan jaringan lintas sektor, lintas agama untuk advokasi gencar dilakukan.

Semoga upaya ini terus berjalan……….



[1] Disampaikan dalam Lunching Nasional We Can End All Violence Against Women: “Hidup Terhormat tanpa Kekerasan Terhadap Perempuan”,21 Maret 2009