Menanggapi Kontroversi Bentangan Bintang Kejora
Dr Phil Erari
Ketika sebuah group budaya Papua, mementaskan suatu karya seni pada penutupan Kongres Dewan Adat Papua, 6 Juli lalu, bendera dengan lambang Bintang Kejora dibentangkan. Pesan di balik bentangan itu, tidak lain, sebagai jawaban atas pertanyaan seorang anak mengapa ayahnya dan dan orang sekampungnya mati dibunuh. Kepada anak itu, dijawab bahwa karena Bintang Kejora itu, maka ia telah kehilangan mereka yang ia sayangi.
Aparat penegak hukum serta merta menanggapi karya seni itu sebagai unjuk separatisme oleh para pelaku sendratari, pihak penyelenggara Kongres Dewan Adat dianggap berbuat makar. Menanggapi reaksi yang sedemikian, kita butuhkan suatu persepsi sosial yang jernih, dengan tidak memandang sendratari bintang kejora itu dengan kaca mata keamanan, apalagi menstigmanya secara hitam putih sebagai aksi makar dan separatisme. Seharusnya, kita menggunakan pisau bedah analisis sosial politik yang tepat dengan konteks jelas. Cara pandang penuh kecurigaan sudah tak lagi pas di era ini. Khusus buat Papua, di era Otonomi Khusus kreatifitas dan ekspresi budaya yang sarat dengan kritik sosial politik patut kita renungkan.
Terminologi teknis ”separatisme” perlu dirumuskan secara tepat dalam konteks Indonesia. Untuk Papua, tak sepantasnya dikenakan terhadap setiap kegiatan yang bersifat mengoreksi berbagai kebijakan hukum dan pembangunan. Separatisme sepantasnya dipandang sebagai sebuah fenomena kultural, sebagai akibat ketidak adilan dan ketidak harmonisan sebuah relasi.
Rakyat Papua, sangat maklum bahwa sejarah Papua dalam Indonesia, berawal dari rancangan Dubes AS Eslworth Bunker dan intervensi PBB. Perjanjian New York 1962, sampai kepada peristiwa Act of Free Choice 1969. Ini semua membuktikan kepada bangsa Indonesia, bahwa integrasi itu terjadi akibat campur tangan pihak ketiga. Inilah yang membedakan Aceh dari Papua. Papua direbut oleh Indonesia, melalui tekanan militer dan diplomasi internasional. Proses sejarah itu, dimenangkan oleh Indonesia. Tetapi bagi kebanyakan rakyat Papua, itulah trauma dan akar dari berbagai pelanggaran kemanusiaan selama empat dasawarsa ini.
Sayangnya, perjuangan darah dan diplomasi politik yang patut dihormati itu, telah dinodai oleh mereka yang telah menumpahkan darah anak anak negeri Papua, atas nama pembangunan, atas nama stabilitas dan demi NKRI. Papua memang telah dimenangkan secara politik dan ekonomi. Tetapi, dari pisau bedah analisis sosial budaya tadi, Papua sebetulnya belum dimenangkan hati dan batinnya.
Mereka telah menjadi korban dari pendekatan Keamanan dan pendekatan Pembangunan yang salah. Pelanggaran HAM yang berlangsung sejalan dengan Pembangunan selama era Orde Baru (1969-1998) dan berlanjut di era Reformasi ini, telah melahirkan yang oleh Jakarta disebut
Reaksi rakyat dengan mengusung bintang Kejora, adalah suatu ekspresi perlawanan budaya atas ketidak adilan. Bintang Kejora yang dibentangkan, atau dikibarkan merupakan kritik sosial terhadap pelanggaran HAM yang begitu menyeramkan.
Di Papua, rakyat sudah mengalami lapisan dominasi, dari kebijakan ekonomi yang tidak pro-rakyat, ditindas dan ditakuti oleh kehadiran para tentara yang tidak melindungi dan menjaga keamanan. Rakyat yang selama lebih 40 tahun hidup dalam trauma ketakutan itu, hanya bisa menyatakan keprihatinan dan ketakutannya a.l dengan cara mengibarkan bendera Bintang Kejora. Dari analisis di atas, maka yang sesungguhnya kita saksikan ialah Bintang Kejora dan tuduhan separatisme atau makar; tak lain sebuah kepulan asap, dari kobaran api penderitaan, dan pelanggaran HAM, selama 45 tahun di Papua.
Pendapat Forum Papua, pimpinan Dr.Albert Hasibuan SH dan kawan kawannya dalam konperensi pers Selasa,10 Juli di aula CSIS Jakarta yang menyatakan bahwa pengibaran (yang benar adalah pembentangan) Bintang Kejora dalam pesta budaya Papua, 6 Juli bukan masuk dalam kasus separatisme. Cara pandang seperti inilah yang seyogyanya dipegang oleh semua elemen bangsa Indonesia.
Papua janganlah terus dipandang sebagai daerah bermasalah. Hendaknya kita mengakhiri semua bentuk kekerasan, agar bangsa kita ini tidak menjadi bangsa yang dicap primitif pihak lain. Dalam hal ini pihak Polda Papua agar menerapkan prinsip prinsip good governance, dalam menangani semua permasalahan hukum di Papua.
Kita patut merasa prihatin atas cara penanganan masalah Papua, dimana pendekatan keamanan begitu sarat dengan kepentingan ekonomi dan politik sejak awal Integrasi Papua kedalam Indonesia. Suatu pendekatan yang ber-lebihan dan cenderung melecehkan hak kultural dan kemanusiaan orang Papua.
Hal inilah yang saya sampaikan kepada Presiden BJ Habibie pada tanggal 25 September 1998, seusai delegasi Dewan Gereja se Dunia (DGD) dan Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) mengunjungi Biak dan Jayapura, dalam suatu kunjungan Pastoral. Dr. Judowibowo Poerwowidagdo wakil DGD bersama Dr. Sularso Sopater ketua PGI, Dr. Ketut Waspada (anggota MPH PGI dan saya sebagai anggota MPH PGI) menyampaikan kesimpulan kepada Habibie, bahwa rakyat Papua dari semua komponen, meminta kedaulatannya dikembalikan. Mereka ingin menentukan masa depannya sendiri.
Presiden BJ Habibie serta merta merespons laporan tim DGD PGI dan menginstruksikan Jenderal Sintong Panjaitan, Sekdalopbang, untuk mempersiapkan suatu dialog dengan rakyat Papua. Dari laporan tim Dewan Gereja itulah melahirkan kunjungan Tim 100 ke Istana Negara menemui Habibie pada tanggal 26 Februari 1999. Dialog itu menjadi awal dari sebuah proses demokrasi. Rakyat menyampaikan aspirasi secara terhormat dan bermartabat. Yang menjadi intisari dari proses yang berlangsung adalah sebuah keprihatinan yang dalam dan kegelisahan atas masa depan rakyat Papua yang telah lama diperlakukan secara tidak adil.
Saksi Trauma Kemanusiaan
Dari api penderitaan dan kegagalan pembangunan Kemanusiaan di Papua itulah, kini terlihat “asap” yang timbul dimana-mana. Rakyat mengibarkan Bintang Kejora, membentangkan Bintang Kejora, seperti peristiwa 6 Juli lalu di GOR Jayapura, menggunakan kaos dengan gambar Bintang Kejora, dompet, gambar di layar komputer dst. Ini adalah bukti bahwa Bintang Kejora telah menyatu dengan hati rakyat Papua, baik generasi tua maupun generasi mudanya.
Sebuah bukti balik bahwa Papua dalam Era Orde Baru sampai hari ini telah mengalami pelanggaran HAM yang sangat mengerikan. Pada tahun 1991, Sinode Gereja Kristen Injili di Tanah Papua menerbitkan sebuah buku putih berjudul Untuk Keadilan dan Perdamaian. Di situ dibentangkan beberapa kasus pelanggaran HAM a.l. di Tor Atas, Sarmi, dimana seorang kepala desa dibantai dan tubuhnya dibakar, laksana sate manusia. Dua pasang calon suami istri, tanpa busana di tepi pantai Sarmi dipaksa bersetubuh. Rakyat Papua di setiap pelosok menyimpan kisah kisah menakutkan itu.
Pemerintah Indonesia, tak bisa lagi menutup diri dari sebuah trauma kemanusiaan masa lalu yang pada akhirnya melahirkan sebuah asap yang disebut Bintang Kejora, yang menjadi saksi dan lambang dari suatu trauma kemanusiaan, dan bukannya sebuah separatisme yang menyeramkan dan mengundang ketakutan. Bintang kejora tak mungkin mengalahkan kekuatan bersenjata yang dimiliki negeri kita ini.
Jadi, akhirilah pendekatan keamanan yang berlebihan. Bentangan Bintang Kejora dalam sebuah event budaya adalah sebuah kreatifitas dan ekspresi seni atas sebuah ketidakadilan yang tidak diperoleh diatas mimbar dan panggung hukum di negeri ini. Eksperesi seperti ini juga sering dilakukan orang Aborigin di Australia. Juga oleh suku Maori di Selandia Baru, dan antara orang Indian di Kanada. Perlawanan budaya seperti itu merupakan suatu fenomema sosial secara global yang patut dihargai, bahwa rakyat dalam penderitaannya, masih tampil segar dan kreatif.
Penulis adalah dosen di STT-GKI Abepura, anggota Partnership For Governance Reform Indonesia.
Dipublikasi pada Sunday, 08 July 2007 oleh makimee
Penulis: David Chan
BENDERA Bintang Kejora BUKAN bendera milik OPM tetapi milik seluruh rakyat Papua. Pehamilah latar belakang sejarah terbentuknya bendera Bintang Pagi (the morning star). Dalam film The Land of the Morning Star – karya Mark Worth bersama pakar-pakar sejarah Papua, bendera Bintang Kejora muncul pada masa kevakuman setelah Perang Pasifik.
Film dokumenter tersebut menunjukkan bagaimana seorang perempuan Papua sedang menjahit bendera mirip Bendera Belanda yang ditempeli bintang di sudutnya. Ketika Amerika Serikat meninggalkan Papua sambil membawa tawanan Jepang, mereka digantikan oleh Belanda.
Ternyata masyarakat Papua di Teluk Humboldt Holandia (sekarang Jayapura) sudah mengibarkan Bendera Bintang Kejora itu untuk menunjukkan eksistensi sebagai sebuah bangsa yang berdaulat. Belanda menghormatinya, kemudian bendera itu berevolusi menjadi Bendera Bintang Kejora yang mulai resmi dikibarkan pada 1 Desember 1961 berdampingan dengan bendera Belanda.
Padahal bendera itu sudah ada kira-kira sekitar tahun 1944 atau 1945 (Jepang kalah dari Amerika Serikat di Papua tahun 1944). Jadi keliru kalau Bintang Kejora CIPTAAN Belanda atau ciptaan OPM.
Falsafah Bendera Bintang Kejora
Sebagaimana dijelaskan oleh Yth. Bpk. Clemens Runaweri, seorang pemimpin Papua di film tersebut di atas.
Morning Star/ Bintang Kejora/ Bintang Pagi adalah bintang yang muncul di langit pada subuh sebelum matahari terbit. Bintang Pagi ini dijadikan para nelayan sebagai penuntun, sebagai penunjuk arah ketika mereka di tengah lautan tanpa kompas navigasi.
Bintang Kejora adalah harapan bagi nelayan yang sedang menanti datangnya Pagi. Bintang Kejora adalah pedoman arah bagi masa depan yang cerah, secerah matahari terbit.
Anda mungkin kaget melihat bendera Bintang Kejora dibentangkan dalam tarian adat. Tapi datanglah ke Papua, berjalanlah di keramaian kota , di pasar, di tempat orang berkumpul di lapangan bola, di pelabuhan kapal, di mana-mana Bintang Kejora dipakai rakyat.
Bintang Kejora disablon di belakang T-shirt, di topi, dijual bebas menghiasi noken-noken (tas tradisional Papua), Bintang Kejora sudah menjadi bagian yang mendarah daging dalam kehidupan rakyat Papua, dari kota hingga ke kampung-kampung.
Pergilah ke dalam kelas SMP atau SMA, lakukan pemeriksaan pada tas-tas mereka, di situ Anda akan temukan beberapa siswa menyimpan Handphone mereka dalam kantong kecil (noken kecil) yang berhiaskan Bintang Kejora.
Bintang Kejora ada di gelang manik-manik yang melingkari pergelangan. Bahkan ada tato Bintang Kejora di dada seorang pemuda Papua yang dicium mesra kekasihnya.
Ada semangat yang menghidupkan dalam diri setiap anak-anak Papua yang memakainya. Bintang Kejora sudah ada jauh sebelum Republik Indonesia masuk ke tanah Papua (1 Mei 1963).
Melarang Bintang Kejora sama saja dengan merampas “KOMPAS NAVIGASI” rakyat Papua yang saat ini “sedang berlayar” menanti datangnya pagi.
Itu fakta sejarah, bung! Menonton film The Land of the Morning Star adalah wajib hukumnya, bila Anda sungguh-sungguh ingin mengenal sejarah Papua dengan ketulusan dan kejujuran. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar