Menghadirkan Kehadiran Yesus dalam Kehidupan Dunia
Oleh: Pdt. Emmy Sahertian, MTh.
Bid.Gereja dan Masyarakat Synode Am GPI
Pendahuluan
Perlahan-lahan kehidupan bergereja kita di Indonesia mengalami beberapa perubahan karakter dari sebuah komunitas yang berpusat pada panggilan pelayanan kemanusiaan (kesehatan dan pendidikan) dan peribadahan melalui pelayanan para zending Eropah, kemudian menjadi pusat peribadahan Negara yakni gereja Negara pada era kolonialisme, kini mulai beranjak kepada gereja yang melayani yang disebut sebagai kehadiran aktif dalam kehidupan masyarakat pada era kemerdekaan, era pembangunan dan era reformasi Indonesia
Sejak gereja mula-mula atau gereja para rasul terbentuk, terlihat bahwa landasan kehadirannya sebagai komunitas panggilan yang diutus ke dalam dunia untuk memberitakan Injil serta melayani sudah merupakan hakekat gereja itu sendiri. Namun seiring dengan bergulirnya berbagai perkembangan masyarakat yang menjadi konteks kehidupannya, gereja Kristen yang bercirikan menghadirkan kehadiran Yesus dalam kehidupan nyata manusia digiring menjadi sebuah persekutuan tertutup (eksklusif) dengan kembali berpusat pada ranah peribadahan saja, sehingga menjadi sebuah menara gading yang sulit ditembus. Dalam kondisi yang tertutup itu ternyata gereja kehilangan arah perjuangannya ketika persoalan perbedaan ajaran dan tradisi menjadi biang keladi dari konflik, perpecahan dan persaingan pelayanan yang tidak sehat secara internal. Kondisi ini merupakan salah satu penyebab terbesar terhambatnya proses kehadiran aktifnya dalam dunia yang penuh dengan ketidak adilan, penderitaan, peperangan, konflik dan kekerasan. Padahal hekekat gereja adalah hadir pada kondisi-kondisi tersebut sebagaimana yang telah dilakukan oleh Yesus Sang kepala Gereja itu.
Gerakan Oikumenis: Persaudaraan dalam satu rumah (oikos) yang disebut dunia.
Untuk mengefektifkan kehadiran gereja dalam dunia sebagai sasaran pengutusannya maka upaya gerakan pendamaian melalui persaudaraan gerejawi perlu dibenahi.
Dari sinilah gerakan oikumenis digulirkan, yakni bagaimana menjembatani semua perbedaan ajaran tradisi intra maupun inter denominasi gereja yang sama-sama memberitakan tentang Kristus itu dengan berbagai upaya konsiliasi atau penyelarasan kembali hubungan gereja Reformasi dan Injili, lalu kemudian penyelarasan hubungan dengan gereja Katolik. Gerakan yang awalnya dipelopori oleh gerakan Pemuda Kristen sedunia ini kemudian berhasil membentuk dewan gereja Sedunia (tanpa gereja Katolik) di mana kita merupakan bagian dari gerakan tersebut. Gerakan ini, kini telah menjadi inspirasi persaudaraan oikumenis antar iman dan kepercayaan dalam penyelesaian ketegangan dan konflik antar iman dan kepercayaan.
Perjuangan Gereja untuk Keadilan, Pendamaian dan Keutuhan Ciptaan Allah
Dalam era tahun 1960-an, paska Perang Dunia II dan memasuki era perang dingin antara Blok Barat dan Blok Timur (Pakta Pertahanan), maka anggaran belanja dunia terkuras untuk penciptaan senjata-senjata pemusnah yang super modern untuk saling menggertak antar kedua blok (Dalam situasi ini, Papua menjadi bagian dari persoalan perang dingin yang akhirnya melalui PEPERA ia menjadi bagian dari Republik Indonesia, meskipun prosesnya masih dianggap bermasalah hingga hari ini).
Kondisi tersebut mengakibatkan terbengkelainya ekonomi rakyat di dunia berkembang sehingga ketidak adilan sosial menjadi akar dari kemiskinan yang pada gilirannya melahirkan penindasan, konflik dan kekerasan serta persoalan pengembangan dan kesehatan masyarakat. Di dalam kondisi yang demikian Dewan Gereja Sedunia melalui gereja-gereja anggotanya mulai mendorong perhatian pada persoalan pengembangan masyarakat sehingga 1968 dalam persidangan di Upsala melahirkan tema “Tengoklah Aku Menjadikan semuanya Baru” yang inti perjuangannya adalah bagaimana gereja hadir dalam pembangunan masyarakat khususnya di Negara berkembang melalui pengorganisasian masyarakat akar rumput,pengembangan ekonomi rakyat, pengembangan kesehatan masyarakat dll. Ide tersebut kemudian menjadi ide dasar program Perserikatan Bangsa Bangsa dalam pengembangan masyarakat di dunia ke-3. Tema ini kemudian menjadi bagian dari tema Sidang Raya DGI (kini PGI) di Salatiga pada 1978, di mana hasil sidang raya tsb telah menginspirasikan konsep pengembangan masyarakat yang sudah mulai dikembangkan PGI melalui Dharma Cipta, dan program Cikembar PARPEM yang terkenal itu. Ide ini kemudian diadopsi dalam Trilogi pembangunan Indonesia di era Soeharto (stabilitas, ekonomi dan keadilan sosial-pemerataan),yang sayangnya bergulir menjadi sebuah ironi pembangunan yang semi militer-kapitalistik sehingga mengabaikan pembangunan sumber daya manusia dan ekonomi rakyat secara demokratik, yang hingga kini menyisakan krisis multi-dimensi yang berkepanjangan.
Dalam era 1980-hingga 2000-an, era dimulainya modernisasi global yang disebut globalisasi dengan jargon pasar bebas, telah terjadi apa yang disebut eksploitasi sumber daya baik manusia, alam dan tekhnologi menjadi sebuah ajang industri yang berpusat pada pasar dan uang. Dalam era ini ada beberapa komoditi unggulan yang dieksploitir secara besar-besaran yakni: Mineral bumi (Minyak dan gas, emas dan mineral terkait seperti uranium, dll) hutan dan kayu, teknologi elektronik dan digital, tekhnologi informasi, senjata dan narkotik, dan kini ikut-ikutan juga perdagangan manusia (perempuan dan anak)
Akibat logis dari kondisi tersebut adalah semakin banyaknya orang yang belum mampu mengikuti laju perkembangan yang super cepat, terutama cukup banyak masyarakat yang tertinggal jauh dalam era sebelumnya menjadi lebih terpuruk dan kalah bersaing sehingga sebagian besar melarikan diri dengan berlindung pada gerakan fundamentalisme atau militansi agama dimana terorisme dengan menggunakan tameng agama menjadi marak.Hal lain yang tidak kalah penting adalah kemiskinan massif yang melahirkan kriminal karena musnahnya relasi persaudaraan kemanusiaan pada berbagai lini baik domestik maupun publik, tingginya bencana alam global dan merebaknya wabah penyakit mematikan akibat rusaknya relasi manusia tersebut (antara lain HIV dan AIDS) dan pengrusakan alam yang luar biasa.
Dalam kondisi tak berpengharapan ini Gereja melalui sidang Raya DGS di Vancouver,Swiss pada tahun 1983 melahirkan gagasan perjuangan melalui konsep: JUSTICE (Keadilan),PEACE (Pendamaian) dan INTEGRATION of CREATION (Keutuhan Ciptaan Allah-Lingkungan Hidup) (JPIC) yang diperkuat dalam sebuah konperensi khusus tahun 1990 di Korea dimana rekomendasi terfokus pada keutuhan ketiga isu tersebut, bahwa keadilan tanpa perdamaian dan keutuhan lingkungan ekologis akan tejadi pelanggaran hukum dan HAM, sebaliknya Perdamaian tanpa keadilan dan keutuhan ekologis maka akan terjadi penindasan, Keutuhan Ciptaan tanpa keadilan dan perdamaian maka akan terjadi pemusnahan kehidupan. Hingga kini dasar JPIC ini masih menjadi isu unggulan dalam program kehadiran aktif gereja dalam masyarakat yang disebut Gereja dan Masyarakat (Partisipasi aktif gereja dalam masyarakat). Beberapa konsep lahir untuk menyikapi isu-isu kritis regional atau konteks pelayanan gereja seperti persoalan Jender,Perempuan dan HAM, Persoalan konflik dan perdamaian, Kesehatan Masyarakat dan HIV-AIDS, Isu Lingkungan Hidup, Masyarakat Adat, dan hubungan antar agama.
Konsep inilah yang ikut merubah wajah pembidangan program PGI dalam Sidang Raya PGI di Kinasih 2004 yang lalu.Salah satu bidang baru yakni Diakonia mencoba mengusung dan mendorong gereja-gereja di Indonesia agar lebih mengembangkan program unggulan Gereja dan Masyarakat dalam kerangka JPIC. GPI Am mengembangkan bidang Gereja dan Masyarakat dengan komponen program Hukum dan HAM yang mencoba memberikan asistensi bagi Gereja Bagian Mandiri untuk pengembangan pendampingan Hukum dan HAM di tingkat lokal termasuk Pengarusutamaan Jender, sosialisasi dan pemantauan berbagai kebijakan dan produk peraturan; Pemantauan, pencegahan dan penanggulangan konflik dan kekerasan; Pengembangan Kesehatan Masyarakat dan penanggulangan HIV dan AIDS.
GPI Papua dan GERMAS
Prinsip Dasar pengembangan program gereja dan masyarakat adalah bagaimana Firman Tuhan yang berisi Injil keselamatan itu menjadi Daging……..bahwa pemberitaan Firman melalui gereja harus menjadi aksi nyata dalam realita kehidupan manusia/dunia. Dan itulah tanda kehadiran Yesus di dunia ini.
Konsep ini secara imperatif tertuang dalam tema sidang Sinode GPI Papua di Timika yang lalu yakni “IMAN TANPA PERBUATAN ADALAH MATI”, dan kemudian dalam program telah dicantumkan salah satu bidang Gereja dan Masyarakat dengan mengusung komponen program sesuai dengan konteks kebutuhan masyarakat yakni: Hukum dan HAM, Pembinaan dan Pendidikan, Pengembangan Jaringan Oikumenis interdenominasi dan antar iman, Kesehatan masyarakat dan HIV dan AIDS serta Pengembangan Ekonomi Jemaat. Komponen ini disesuaikan dengan konteks Tanah Papua yang telah dideklarasikan sebagai “TANAH DAMAI” di mana isu pelanggaran HAM, Lingkungan Hidup, kemiskinan, Kesehatan masyarakat di mana angka Malaria,TBC, kematian Ibu dan anak yang tinggi, perdagangan perempuan dan tingginya HIV dan AIDS
Moga-moga pada tingkat klasis program ini dapat berkembang dengan baik di mana program yang digagas itu sangat realistik dan dapat mencerminkan kehadiran GPI Papua dalam konteks masyarakatnya secara efektif.
Merauke, Maret 2008.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar