Refleksi HUT GMIT ke-63 thn :Orang Banyak Mencari Yesus: Adaptasi Yohanes 6:22-27
By:  Emmy SahertianIntroduksiDalam rangka Hari Ulang tahun GMIT yang 63, mungkin perlu kita bertanya pada diri kita sebaga warga GMIT baik yang tersebar di NTT, maupun yang di diaspora, apakah kehadiran GMIT di bumi Nusa Tenggara Timur dengan   peribadahan dan pengembangan iman yang sebagian besar berorientasi  pada ranah kontinental (daratan) masih relefan?
Ada dua simpul  pengalaman iman yang menggoda saya untuk mengungkapkannya dalam refleksi ini. Di mulai dengan pertanyaan konyol dan alegoris adaptasi dari  Yohanes 1:14…..berapa persenkah firman  Tuhan yang telah ditaburkan oleh Gereja Masehi Injili di Timor… dibumi yang tandus dan gersang itu,  kini  menjadi “daging”?
Simpul pertama muncul  pada saat  saya  menyadari  akan kekristenan yang melekat pada diri saya, serta kependetaan GMIT yang menjadi atribut pelayanan saya. Beberapa tahun belakangan ini saya  terlibat dalam advokasi Bhinneka Tunggal Ika bersama saudara saudara saya masyarakat  agama asli Boti di Timor,  Jingitiu di Sabu dan  Marapu di Sumba dan beberapa masyarakat adat yang beragama asli Indonesia. Waktu itu mereka menuntut hak hak SIPOL dan EKOSOB sebagai basis utama HAM  karena mereka masih ada dan  diperkenankan Tuhan untuk hidup dan tetap exist, tetapi mengalami proses pengucilan dan peminggiran melalui stigma  pengkafiran,  tersubordinasi dalam administrasi kependudukan (ADMINDUK), di mana kolom agama dalam KTP hanya mengakomodir 6 agama yang diakui negara.  Kondisi demikian sudah sangat lama  mencengkeram  spiritualitas dan keterampilan hidup mereka terutama kearifan dan spiritualitas  lokal yang menjadi dasar hidup yang  telah menghidupkan banyak anak NTT dengan baik. Proses yang panjang dan lama ini  justru telah menghambat pengenalan mereka akan Kristus yang hidup, Kristus yang nyata dalam kehidupan keseharian dan  Kristus yang inklusif, Kristus yang ada dalam kesucian unsur alam, lingkup kehidupan mereka. Meskipun penamaan akan Tuhan Allah dalam Kristus pernah menggunakan nama nama dewa  setempat seperti “Uis Pah, Uis Neno” (Midlekoop) dllsb,namun ‘stigma’  masyarakat suku asli yang terbelakang dan kafir masih sangat terasa. Kalau kita mau jujur untuk membuat survey,   proses peminggiran dan pengkafiran tersebut  merupakan salah satu akar dari kemiskinan dan penderitaan rakyat kebanyakan di pedalaman NTT, karena akses pelayanan publik seperti pendidikan, kesehatan dan pengembangan ekonomi menjadi pergumulan yang luar biasa di mana soal administrasi kependudukan yang menjadi akta sipil mereka terabaikan, sehingga  menutup sebagian besar akses untuk mengembangkan keterampilan hidup. Banyak kearifan dan spiritualitas lokal yang menyatukan alam kontinental dan maritim sebagai konteks spiritualitas yang utuh terberangus, ikut mempengaruhi  konteks kekristenan GMIT  yang pincang sebelah (hanya kontinental-daratan tandus).  Meskipun sebagian mereka memilih berasimilasi dengan kekristenan yang menjadi medium peradaban modern,namun banyak yang  merasa terpaksa memeluk agama pendatang ini karena alasan politis, bukan karena betul betul mereka bertemu dengan Sang Kristus yang hidup melalui kehadiran gereja dan pelayanannya. Bagi mereka firman Tuhan yang dikumandangkan melalui mimbar gereja telah menciptakan surga yang asing dan jauh tinggi di langit, lalu  Kristus adalah Allah yang bertahta dalam Kerajaan  yang sangat tinggi, agak utopis. Sementara dalam keimanan mereka, surga sudah dimulai dari bumi ini, bumi beserta segala isinya secara  utuh, yang bisa dialami, dirasakan,disentuh dan disakralkan, merupakan surga surga yang diamanatkan kepada manusia, dikelola secara utuh, dipelihara untuk  damai sejahtera. Mereka selalu melihat bahwa perpaduan dan keseimbangan alam baik tanah,air,udara dan semua kandungannya perlu dilihat dan dikelola  secara utuh untuk melahirkan mujizat mujizat…..dan dalam perpaduan yang utuh itu mereka bertemu dengan Tuhan yang hidup dan dikenal  kebesarannya dalam kehadiran  unsur unsur alam yang menghidupkan. Oleh karena itu masyarakat Sabu tidak hanya melihat tanah tandusnya dan pohon lontar sebagai satu satunya ruang beriman, mereka juga  melihat laut sebagai bidang perjuangan hidup di mana mereka bertemu dengan Tuhan yang dinamik,juga di Pulau Rote. Masyarakat Timor akan melihat tanah tandus dan bukit karang bukan saja sebagai kubu kekuatan Tuhan tetapi mereka melihat langit, pohon, sungai dan laut sebagai sebuah harapan eskatologik yang nyata bukan utopis, tempat bersemayam roh suci yang melindungi dan menyembuhkan, lalu  dalam kenyataan itu mereka memberitakannya melalui tenunan tenunan, lagu dan ritual kehidupan nyata. Maka jawaban atas apakah Firman telah menjadi daging….muncul dalam  pergumulan iman untuk sebuah advokasi. Suatu upaya pastoral yang sering terabaikan dalam kekristenan eksklusif.
Simpul yang kedua adalah ketika saya mulai mendalami bersama Gereja Protestan di Indonesia –GPI (Indische Kerk) yang adalah ruang pengembangan iman GMIT melalui bentuk bentuk pelayanan yang kontekstual ketika abad 19 baru saja berlalu dan pada tahun 1995 terlibat dalam mereposisi kembali konsep pemahaman iman GPI memasuki abad 20. Mencoba melepaskan diri dari kekristenan ala “benteng ” yang sangat  antroposentrik kolonial serta  birokratif  menjadi kekristenan yang mengacu pada konteks maritim kepulauan (gereja gereja bagian mandiri)  dengan pola  pelayanan  egaliter yang “bergerak menjumpai”atau pastoral transformatif. Lalu selanjutnya mencoba terlibat dalam komisi Gereja dan Masyarakat GPI khususnya membantu GPI Papua dalam program penanggulangan HIV dan AIDS. Kami memulai dengan sedikit argumentasi teologis…….berapa prosenkah Firman yang ditaburkan oleh gereja menjadi “daging”. Teman teman itu tersenyum simpul lalu secara jujur mengatakan bahwa banyak pemberitaan tapi sedikit yang mempengaruhi perilaku…..bagaikan sang Penabur yang menabur Firman pada sebarang tempat  tidak mamahami apakah tanahnya gembur atau beronak duri……sehingga tumbuhnya sedikit…banyak benih yang tebuang sia sia dibawa angin….
Bergumul dalam dua simpul pengalaman ini  untuk sementara saya berkesimpulan bahwa Gereja Masehi Injili di Timor hadir di bumi Flobamora…..apa pun cara kehadirannya mula mula (melalui imperialism dan kolonialisme maupun bersentuhan langsung dengan masyarakat) dalam memasuki abad 20 pada dasarnya harus  menjadi lebih jelas memperkenalkan Kristus yang hidup yang membuat banyak orang mencariNya karena merasakan tetesan berkat secara utuh lalu mereka menjadi manusia kreatif bukan manusia yang menerima “nasib” ketandusan itu. Semoga itu sudah terjadi melalui  jajaran sinode,KPWK, para pelayan jemaat bahkan jemaat sebagai subyek utama transformasi ini.
Refleksi Tema: Menetes BerkatMU Biar Tercurah PenuhTema ini diambil dari lagu :Hujan Berkat kan tercurah KJ 403. 
Hujan bagi orang NTT adalah harapan eskatologik dalam  ritual  menanam pertanian lahan kering …..di dataran Pulau pulau NTT…..tapi lebih dari itu merupakan bagian dari pertarungan hidup dan keimanan masyarakat NTT  berabad lamanya di mana   sebagian besar konteks pertahanan hidup terfokus pada  padang tandus, kering  dan bermusim panas  panjang. Berabad lamanya  kita dibiasakan untuk selalu melihat  alam daratan yang  begitu ganas yang  hanya mengasihani kita dengan  curah hujan  singkat…..(kecuali belakangan ini ketika ada climate change), penyakit tropis dan busung lapar yang mematikan. Kondisi pasrah alam ini mewarnai seluruh ranah kehidupan orang NTT. Ada yang meresponse secara kreatif tetapi tidak sedikit yang justru “pasrah”, cenderung fatalistik.Kemiskinan, kekeringan, kelaparan dan keterbelakangan merupakan “nasib” yang sulit dirubah. Memang  pada dekade kebangkitan pembangunan masyarakat ada solusi kreatif seiring dengan munculnya teologi pembebasan yang kontekstual di mana  konsep pengembangan partisipasi dalam pembangunan, seperti  “Dharma Cipta”,PARPEM, PLKK yang mengembangkan konsep pertanian lahan kering yang kini menjadi salah satu bagian dari pelayanan diakonia trsformatif yayasan gereja pernah menjadi primadona program . Akan tetapi banyak   anak anak NTT memilih  keluar dari ketandusan itu …merantau ke negeri lain yang hijau dan subur, ketiban kreatif menaklukan ketandusan alam.
Pada  lahan inilah  kekristenan bertumbuh dan  Kristus dihadirkan sebagai Tuhan yang bekerja bagi umatNya melalui pelayanan Gereja Masehi Injili di Timor bersama denominasi gereja lainnya,Kristus  yang menghibur dan memperkokoh kepasrahan kita. Mungkin kita perlu bertanya lagi benarkah Kristus  itukah yang selalu menjadi tampuk harapan kita? Ataukah kita perlu merubah orientasi konteks beriman yang tidak saja terfokus pada tanah yang tandus itu beralih kepada seluruh alam ciptaan Tuhan yang ada di Bumi Flobamora itu?
Perikop pembacaan kita  Yohanes 6:22-27 melukiskan tentang Yesus dan para pengikutnya berada di tepi danau Tiberias, di mana baru saja Ia melakukan mujizat melalui pemberian makan kepada 5 ribu orang dengan  5 ketul roti dan 2 ekor ikan. 
Saya ingin menafsirkan perikop ini secara alegoris saja…meskipun dalam metode penafsiran teks kritik cara ini selalu tidak populer. Yang saya ingin katakan  adalah bahwa cikal bakal kekristenan itu justru dimulai di dunia maritim untuk menyeimbangkan ruang beriman yang selalu terfokus pada padang tandus kontinental…..dunia daratan padang gurun yang sangat antroposentrik, di mana manusia sebagai pusat kekuasaan, (bukan berarti tidak menghasilkan pergumulan iman yang kreatif).  Sejarah pemuridan Yesus justru dimulai  bersama para nelayan Tiberias yang bergumul dengan gelombang besar danau…di situ  mereka  menemukan Yesus Sang Guru yang   alam pun taat padaNya, maka pengakuan tentang Yesus Tuhan menjadi bagian dari pengalaman pembelajaran nyata. Ia memanggil  para nelayan Tiberias itu melalui pembelajaran ekologik yang utuh untuk menjadi pemberita pemberita Injil yang unggul dalam karya karya nyata mereka.
Sayangnya kekristenan yang ekologik dan dimulai dari dunia maritim itu kemudian pudar ketika memasuki daratan eropah sebagai bagian  dari gerakan Pietisme Barat yang bereaksi terhadap zaman pencerahan. Dengan semangat militansi kontinental mereka mendatangi daerah daerah yang belum terjamah untuk penginjilan. Semangat militansi ini kemudian terlanda kekuatan   imperialisme dan kolonialisme Barat  yang menguat saat itu di mana telah  merekonstruksi kekristenan yang populis  menjadi kekristenan “benteng” di  daerah daerah jajahan bangsa Eropah(Istilah “benteng” mengambil istilah  DR.Fred Djara Wellem dalam Sejarah singkat GMIT dalam Buku Sejarah GPI), menjadi agama aparat Negara dan para pengerja gereja adalah para  pegawai Negara (Bestuur). Indonesia Timur termasuk NTT yang adalah salah satu daerah tujuan dengan konstruksi  kepulauan justru diinjili dengan model daratan atau kontinental. Karena bila dihubungkan dengan kepentingan penjajahan maka konteks itulah yang paling gampang dikontrol, juga sasaran perdagangan yang berorientasi pada cendana  dan rempah rempah ikut mendukung konsentrasi hanya pada daratan, sedikit yang melihat potensi maritim, hampir tidak ada.   Walaupun  tak dapat kita pungkiri bahwa  proses  transformasi dalam konteks  Asia sudah berlangsung lama, namun tradisi,struktur dan pola keimanan tetap berorientasi kontinental  antroposentik (birokratif),cenderung eksklusif.
 Ini merupakan tantangan besar kehidupan kekristenan di daerah kepulauan seperti kita, yang justru mirip dengan konteks pemuridan Yesus dari dunia maritim. Kehadiran Yesus justru mengembalikan keutuhan ciptaan Tuhan sebagai konteks beriman,,,,Ia menyeimbangkan  hidup beriman yang kontinental dengan hidup dan beriman  dari dunia maritim. Keseimbangan inilah yang mungkin perlu diperjuangkan  dalam konteks  kegerejaan GMIT. Selama ini kita begitu bergumul dengan dunia pertanian di padang kering dan mengabaikan dunia kelautan yang sangat kaya kandungannya. Pola berteologi  ini ikut  mempengaruhi proses pembangunan bumi NTT yang berkonsentrasi pada dunia pertanian dan peternakan ranch, sementara dunia kelautan tersubordinasi.
Menurut Ilmuwan asal NTT Alm.Prof.DR.Ir.Herman Johanes ketika mendapat data kekayaan bumi dari teman ilmuwannya dari Eropah, mengatakan   bahwa kekayaan bumi bawah laut yang luar biasa kayanya(seabed)  berada pada daerah kluster pasifik hingga Pulau Sumba. Dan ini sudah sangat terbukti ketika persoalan emas, minyak, dan kandungan laut sangat berkualitas mulai diexploitasi secara serakah.Salah satunya adalah  persoalan celah Timor yang mengandung minyak berkualitas  ikut dipertahankannya. Pada saat itu orang baru menyadari bahwa bentangan laut dan pulau di NTT penuh dengan kekayaan bumi, termasuk biota laut berkualitas (ikan dll).
Penemuan ilmiah mestinya menyadarkan kita untuk mulai mentransformasi konteks keimanan kita bukan saja berpasrah pada dunia padang tandus. Meminjam alegori roti dan ikan dalam kisah Yesus menunjuk pada perpaduan yang utuh antara dunia pertanian kering (roti) dan dunia kelautan atau maritime (Ikan)…..telah melahirkan mujizat besar, jika dikelola secara sakral, bukan eksploitasi yang merusak.  Bahkan mungkin dapat menanggulangi kemiskinan dan kelaparan.  Di mana tingkat kematian dini baik ibu dan anak, juga keluarga dapat ditekan.
Kebaktian ini juga akan mendukung  salah satu panti Asuhan “Petra” di Kupang. Banyak anak panti Asuhan merupakan korban dari kemiskinan dan kematian dini orang tuanya, sehingga  menjadi yatim piatu. Banyak anak anak dari keluarga yang tidak mampu menitipkan pada Panti Asuhan ini. Bila diamati lebih jauh maka anak anak ini ada yang berasal dari orang tua  suku suku pedalaman yang kehilangan keterampilan hidup kerena proses pemencilan dan rendahnya akses pendidikan karena taraf kognitif yang tidak terkelola. Sebenarnya  ikan merupakan salah satu sumber makanan hayati yang mengandung protein untuk kecerdasan otak…..kita kehilangan ketahanan pangan lokaldi laut maupun umbi umbian darat yang sebenarnya bisa menjawab persoalan kekurangan gizi dan kelaparan…….sebagai bagian dari solusi keterbelakangan manusia NTT.
Ceritera tentang Yesus di danau Tiberias, bagi saya merupakan bagian penting dari kehadiran kerajaan Allah yang betul betul hadir secara hidup, menyentuh kehidupan umat antara lain persoalan kekurangan makanan  dan kemiskinan. Kehadirn Yesus bukan hanya sekedar sebuah keberadaan  ritual tetapi benar benar hidup dalam konteks kehidupan yang utuh.
Selepas peristiwa mujizat itu,Yesus  memperingati orang banyak  yang  berbondong bondong mencariNya. Ia mengatakan bahwa kedatangan mereka  bukan karena hanya melihat “tanda” Kerajaan Allah yang sering diberitakan tetapi  karena mengalami langsung  “makan” roti dan “merasa” kenyang ,agar mereka memiliki  “tenaga” untuk bertahan dan berkarya  bagi hidup yang kekal, dan menjadi berkat bagi sesama. Mungkin ini merupakan jawaban terhadap pertanyaan ‘Firman yg menjadi Daging”, bahwa di dalam Kristus manusia bersentuhan dengan solidaritas dan belas kasih Allah yang nyata dan hidup.
Semoga Gereja Masehi Injili di Timor, menjadi gereja yang dapat menghadirkan Yesus secara bermakna menyentuh konteks kehidupan masyarakat yang nyata secara seimbang dan utuh,menjadi berkat yang  “tercurah penuh”sehingga dapat membentuk manusia manusia kreatif yang tidak pasrah pada nasib, tetapi yang menjadi harapan bangsa, karena NTT adalah surga pulau pulau dan laut yang dianugerahkan Tuhan kepada kita…..pada surga surga kecil itulah gereja Tuhan didirikan dan iman kita bertumbuh. Maka orang banyak akan berbondong bondong mencari Yesus secara benar.
Amin