Desember 2008
bumi melambat dalam tapa sunyi
(tribut buat Sumiati)

Ku titip tetesan embun pada bedebu tandus pada kekeringan pepohonan perdu yang punah diterpa angkara awan awan panasKini aku kembali pada tanganmu membuka
pada jemari jemarimu yg siap membelai.....dan dalam pelukan harap itu....aku pulang ....bersimpuh di pelataran hatimu...siap merajut bangkit....dan aku kembali hidup
(Buat pengungsi Merapi yg berhasil pulang)

Merdeka!!!!
(17 Agustus 2010)
dan rasakanlah betapa jalan  kami memanas berduri  merajam telapak telapak sunyi  mebungkam derita  
helai  jiwa kami tergadai bersama  ucapan manis bibir beracunmu…..
malam malammu kan terusik  suara jeritan    bumi merana  yang kian menggemuruhkan semangat untuk membangkang…..
yang menganga pada  lutut lutut bersimpuh menarik  keperkasaan Tuhan  dan menjahitkannya pada geligi geligi retak
karena kemarahan  mendengki  
singsingkanlah kaki celanamu agar kau dapat merasakan bahwa tidak semua jalan itu rata…berduri dan berkarang
 betismu  akan merasakan lumpur pekat yang telah lama merendam pendam sukma  manusia jelata
yang rela mendermakan jengkal  nafasnya tersangkut pada kawat berduri penjaga wilayah nyamanmu
punggung kami meregang bersandar pada  angan  kosong  jalinan janji yang kian panjang tak berujung
hati hati….kakimu mulai  membusuk…..aromanya mulai merasuk  menebar ….maka bau bangsamu menjadi anyir….
membusukan bumi………..kami merontok
bukalah kasutmu JENDERAL
sebelum engkau terjungkal…..karena jalanmu berlubang curam
sekian lama terutup   sepatumu yang menebal nyaman…..
jangan kau tekan anak pulau itu, Jenderal !
lalu kau suruh mereka meracuni  tali pusar dan placenta yang telah berabad tertanam pada tanah tanah  ulayat itu
jangan kau usik butiran emas Tuhan….dan menggerus rahim ibu buminya dengan racun racun ecocida…maka nyiur nyiur akan mengering lesu……..lalu gemuruh angin menjadi marah mengamuk berkepanjangan karena tak ada lagi penyambutan lambaiannya yang mesra membelai
jangan kau tekan anak pulau itu, Jenderal !
lalu kau bilang bahwa tambang akan lebih mensejahterakan ketiban hijaunya rerumputan….jernihnya sungai, birunya laut suburnya kebun buahan…berkeriapannya ikan ikan …cerianya warna terumbu … bercengkeramanya kerbau dan tekukur….
itu adalah mimpi yang tak pernah terbukti…….karena akan muncul manusia manusia beracun lumpuh layu…..tubuh membenjol….lalu nyawanya menelusur beberapa jengkal menuju ziarah terakhir tidur abadi
sementara engkau begitu sehat meniduri serpihan serpihan penderitaan itu dengan lelap bersenandung
Jenderal! jangan kau tekan anak pulau itu... dengan kekuatan bentakmu beribu jari pelatuk bedil keserakahan…dan janji muluk tentang berkodi lembaran kertas berhiaskan wajah pahlawan yang kau pajang sebagai penghibur kegentaranmu atas hutang negeri yang tak terbayarkan…
karena hatinya akan menghitam dan samuderannya akan memburam menerkam jiwa jiwa penjilat sekelilingmu….
semakin di tekan……. Ia bagai detonator peledak amarah gunung…yang kan bergulung menenggelamkan keperkasaanmu selamanya…..
maka buminya akan menerkam semua mimpi subuhmu lalu mengembalikan kiblat imanmu untuk menerima penghakiman terkhir…..
(puisi ini secara terbuka menyatakan tidak setuju.....pembukaan tambang di daerah pertanian rakyat dan pesisir pantai di bumi Minahasa......) 
(memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia,17 Agustus 1945 / 2009)
ketika …..darah merahku terkuras  di  tanah tanah pertiwi  merenta
dan tulang  putihku berlumut  jelaga  memburam  …mengelam
karena  serbuk  emas,perak dan  butiran  manikam  menguap bersama kabut  hitam   menutup ruang paru ku
lalu pucuk  pucuk meranti, pun kulit merbau, gugur terkelupas  meluruh menguapkan tirta buana…menandus
maka samuderaku mengamuk membadai …menolak mengawal pantai mengkeruh   
dan  karang  menghitam..beracun… penanda  zaman kiamat
benderaku memucat, Jenderal !!
ketika…perawan perawan  lugu  berdada  hampa mengiring  kesuma kesuma negeri 
 yang  gugur  tak bernyali dalam terkaman cuaca    
lalu para  pendulum  keadilan  berdandan  mulut  serapah  palsu  berikrar ….membual
membuai  anak anak  pulau  berperut  busung…. geligi  mengkertak…  lapar dan marasmus…
membekukan kepala  anak anak langit   kosong  menggosong
 pada meja meja sekolah keropos  diantara pekarangan sempit   melunglai derap  kaki
aku di sini,  Jenderal !!!!
dengan sisa darah mengental dan tulang tulang melapuk  berkeriapan…
menunggu komandomu memerahputihkan kembali  bendera  negeri  yang  pucat …kumal
jangan kau gadai  jiwa negeriku….karena darahku kan meluap…hingga  tubuh ini  mengering…..
ku hapus air mataku 
yang  lamas  membahasahi burkamu umi…
lembutnya  kafan sucimu
meneduhkan gemuruh luka jiwaku
ketika kau pasrahkan nyawamu padaku
dalam pelukan malam berposphor
ku titip Husein …adiku tercinta  di sampingmu…
mengiringi tidur sorgawimu……
pergilah  umi……
bawalah Huseinku…..
sorga  begitu layak  bagimu……
kan kubersihkan serpihan serpihan ketakutan
kan ku tanam puing puing  kegetiran
kan ku balut bilur bilur sembilu
pada  tubuh  tubuh  bangsaku….
ku asmakan  janjiku  …
di sini……..di  tapal  batas  keangkaraan 
kan ku bangun bangsa ini…..
merdeeeeekaaaaa!!
(mengenang pejuangan perempuan2 Palestina---- oleh Marieta)
Dalam khotbah kerakyatan mereka bertempur
kata lawan kata
Dengan wajah  wajah beku mereka membusung dada
kata  lawan kata
Dengan  tangan mengepal  mereka  mengangkat kepala
kata lawan kata
Mereka berkata dengan  wajah beku
Mereka berkata dengan membusung dada
Mereka berkata dengan  mengacung kepalan
Lalu  mereka berjanji
kata lawan kata
dalam  lembaran lembaran  kertas   tercabik
dalam gelungan spanduk  mengkumal
Maka tercabiklah dan mengkumalah mereka
dalam janji …..kata lawan kata…….
Marieta
1 Januari 2009
   
Saatnya  lutut   melipat 
di atas bentangan selimut  derita  kemanusiaan  ini…ya Sang MAHA
sementara telapak  telapak itu ‘kan berlanjut  menelapak  teriknya  semburat  mentari  
melayari  genangan    kampung  kampung  sepi  berlumpur
dan…gesekan  geligi  mengilu menembusi gendang  pendengaran  menuli  
karena  keimanan  pupus  dalam  dahaga  bangsaku
……..bangsa merdeka …..
wajah wajah getir kelu tak berirama  
teruruk dalam deru geraman  purnama purnama kelabu  
memucatkan  aura kesahabatan  kami
mengubah  rona  pasi benderaku    dan  tengilkan  persaudaraan   kudus  negeri
lalu mereka bertuah pada penjagal  penjagal  nurani
karena  pergulatan keserakahan  bangsaku 
…….bangsa merdeka….
kepala  kepala kecil ini   kembali  menengadah   
pada bentangan lazuardi  keadilanMu ya  Sang MAHA
tangan tangan mungil ini  menatang dalam  hening syafaat  sunyi…….
hanya kecil…. mungil  melemah…
katakanlah…katakanlah…. dengan keperkasaan KASIHMu  
jalan jalan  bangsaku   di tanah merdeka  ini .......
UU DAN PERDA BERBASIS AGAMA DI INDONESIA
Semangat penegakan “moral” yang mengancam Kebhinekaan Bangsa
Pdt.Emmy Sahertian,MTh
Steering Committee ANBTI
Dalam data jaringan Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika (ANBTI), tercatat sekitar 132 PERDA bernuansa agama aktif yang sudah berjalan, dan akan menyusul ratusan raperda sejenis yang sedang menanti disahkan.Sebagian besar perda  tersebut berorientasi pada salah  satu agama yang disebut “agama yang resmi diakui” di Indonesia sehingga dampak konflik laten maupun terbuka cukup memprihatinkan ketika sebagian besar masyarakat yang selalu dianggap “tidak resmi” merasa diperlakukan  tidak adil dan diabaikan dalam akomodasi keadilan Negara. Yang lebih memprihatinkan lagi adalah banyak dari produk hukum ini bertentangan dengan Pancasila,UUD 1945 dan Bhinneka Tunggal Ika.
Menguatnya kontroversi “agama resmi” atau arus utama dan agama adat
Beberapa pertemuan regional  ANBTI yang sudah di lakukan  di 3 simpul wilayah yakni Kalimantan, Sunda Kecil (NTT,NTB,Bali)dan Papua, serta bulan Februari lalu di simpul Sulawesi dan Maluku mulai mendengungkan adanya suatu ancaman yang lebih kuat akan disintegrasi sosial yang bukan tidak mungkin akan  berdampak pada disintegrasi bangsa. Mulai terasa juga bahwa di daerah-daerah yang sudah menerapkan perda bernuansa moral dan agama mengalami mobilisasi demografi berbasis sektarian dan primordialisme, dimana  perpindahan penduduk ke daerah  pemukiman  tempat di mana mereka terakomodir secara sosio-kultural dan agama kini menjadi pertimbangan aman. Mobilisasi demografi tersebut terjadi karena pertimbangan keterancaman. Tercatat beberapa isu yang muncul seperti ancaman terhadap suku-suku asli yang masih memiliki adat dan kepercayaan   seperti Kalimantan: beberapa kompleks kepercayaan suku Dayak a.l.Kaharingan, Manyan,dll; di,Papua: Koreri, HAI,dll;Sulawesi dan Talaud:ADAT Musi, suku Banti, dan 5 suku lain di Minahasa, Komunitas Bishu, Suku Kajang,masyarakat adat  Polewali Mandar; NTT: Agama Halaik Boti, Marapu dan masih ada banyak lagi sekitar lebih dari 200 dalam catatan AMAN Indonesia. Banyak juga dari mereka yang tidak memiliki status sipil karena agama mereka tidak diakui dalam status kependudukan Indonesia atau demi anaknya diterima di sekolah maka mereka terpaksa memilih salah satu agama yang diakui. Pergumulan tersebut  telah lama berjalan dan telah mendorong munculnya gerakan advokasi hak-hak dasar mereka. Gerakan masyarakat adat ini semakin menguat ketika pengakuan Internasional terhadap keberadaan mereka adalah pengakuan berbasis HAM yang  menjadi klausul dalam ratifikasi negara-negara peserta untuk isu hak-hak SIipil dan Politik (SIPOL) serta hak hak Ekonomi,Sosial dan Budaya (EKOSOB). Indonesia adalah salah satu negara peserta yang baru saja selesai meratifikasi Kovenan internasional tentang EKOSOB. Dengan lahirnya berbagai perda-perda bernuansa agama yang cenderung tidak kompatibel dengan upaya penegakan HAM di Indonesia berdampak pada menguatnya kontroversi isu dan kebijakan  yang bernuansa agama arus utama serta masyarakat adat dan kepercayaan di berbagai daerah. Kesenjangan yang besar  terjadi antara keterlibatan negara dalam penegakan HAM dengan implementasi kebijakan negara yang tidak berpihak pada kalangan minoritas. Padahal indikator penegakan HAM  bagi negara peserta ratifikasi adalah perlindungan terhadap hak kaum ninoritas atau kaum yang dilemahkan.
Dikotomi “Mayoritas” dan “Minoritas” 
Kondisi di atas diperteguh dengan berbagai produk Undang-undang negara yang memberi kekuatan pada penerapan perda-perda tersebut. Sebut saja UU 23/2006 tentang ADMINDUK dan UU no.44/ 2008 tentang Pornografi, disamping beberapa UU sebelumnya yang dinilai oleh para pemantau HAM dan Pluralisme, sebagai ancaman  kebhinekaan  Indonesia yang adalah  jati diri bangsa (diskusi publik Pentingnya Pluralisme Demi Menjaga Keutuhan NKRI di gedung Nusantara I, Jakarta, Selasa, 17 Maret lalu).
Produk UU tersebut selalu mengacu kepada kekuatan mayoritas yang secara kuantitatif dianggap sebagai acuan diloloskannya suatu perundang-undangan (voting). Menguatnya visi keagamaan dan pengabaian visi  kebhinekaan Indonesia dalam diri para anggota legislatif menegangkan proses demokratis penyusunan perundang-undangan yang mestinya mendidik masyarakat untuk saling menerima dan menghargai perbedaan tanpa harus saling melukai. Maka dikotomi mayoritas dan minoritas menjadi hitungan mendasar dalam menyusun kebijakan negara di level legislasi. Padahal bila dipetakan secara proporsional maka yang disebut sebagai golongan minoritas di dalam bangsa ini mempunyai sumbangan yang luar biasa dalam pembangunan bangsa dan mereka adalah manusia- manusia berharga yang pernah dimiliki bangsa ini. Ungkapan mayoritas minoritas kuantitatif ini telah menjadi hegemonik pergaulan keagamaan di Indonesia yang pada gilirannya telah dimanipulir  menjadi konflik terbuka di beberapa daerah seperti Maluku, Poso, dan konflik konflik pemekaran serta PILKADA di beberapa daerah. Hegemoni keagamaan ini kemudian menonjolkan aspek “moral” dari sudut pandang masyarakat mayoritas  yang akhirnya mendorong upaya penyeragaman kultur dan formalisme etika berbangsa dan bernegara.
Lebih menyedihkan lagi ketika dikotomi ini ternyata berakar pada apa yang disebut “pluralisme-phobic” yang terdapat pada agama-agama fundamentalis arus utama dimana secara mekanis menghubungkan pluralisme dengan sinkretisme  sehingga kebhinekaan menjadi sesuatu yang menodai kesucian beragama.
Semangat penegakan “Moral” yang mengancam Kebhinekaan Indonesia
Bila kita pelajari kata demi kata dari klausul-klausul  Undang Undang dan PERDA bernuansa agama itu maka adagium utamanya adalah “moral”, agar bangsa ini ditegakan moralnya. Tapi bila kita menyimak bagaimana implemntasi perda-perda ini sangat diskriminatif dan ambigu. Misalnya tentang maksiat dan pornografi, ungkapannya adalah melindungi perempuan dan anak tetapi  obyek hukumnya justru mereka yang  menjadi  korban dari sebuah system masyarakat patriarkhat serta kebijakan negara yang memberangus keterampilan hidup karena jenjang kemapanan domestikasi status  dalam kultur, agama dan kebijakan negara. Korban korban  itu selalu perempuan dan anak.Tentang Pancasila dan kebhinekaan  menyangkut persoalan budaya, maka budaya yang “ekologik” yang memilih tidak menutup tubuh berabad abad lamanya, disubordinasikan sebagai budaya yang perlu “diadabkan” dengan menutup tubuh padahal kejahatan kriminal yang bernuansa moral paling banyak dilakukan oleh orang yang berpakaian lengkap. 
Pertanyaan kritis yang perlu menjadi dasar perenungan kita adalah apakah produk politik ini akan menjamin penegakan moral? Apakah persoalah moral   yang adalah persoalan keagamaan bisa terbantu dengan produk politik yang cenderung ekslusif serta menyempitkan kemanusiaan dan kebangsaan Indonesia? Kenyataan membuktikan bahwa produk produk politik ini telah mengancam  kebhinekaan Indonesia yang pada gilirannya akan mendorong konflik  dan disintegrasi sosial.
 Photo of Pastor Gustavo Gutierres (google search), a Brazillian Liberation Theologian 
Berada bersama masyarakat penganut agama Kaharingan di pegunungan Meratus, Kec. Loksado,Kalimantan Selatan melalui 'action dialog' pemuda lintas agama, merupakan pengalaman yang luar biasa. Mengubah berbagai perspektif yang selama ini salah tentang apa itu agama dalam konteks kebhinnekaan amat penting dalam arti bahwa keberagaman iman ternyata merupakan kekuatan yang maha penting dalam mempertahankan negeri tercinta Indonesia. Sejak tanggal 4 Mei 2009 aku dan Awigra dari ANBTI bergerak dari Jakarta menuju Banjarmasin. Menghadiri kamp pemuda lintas agama yang inisiatifnya LK3 Banjarmasin, FORLOG Kalimantan Selatan,ANBTI dan Dian Interfidei. Acara ini dimulai pada tanggal 5 Mei, dengan seminar di bawah tema "Masa Depan Pluralisme Paska PEMILU 2009" dengan Narrasumber Kiyai Ilham Maskuri Hamdie dan Uskup Petrus Boddeng Timang. Setelah itu peserta yang berjumlah sekitar 30 orang terdiri dari para pemuda Islam, Protestan,Katolik dan Hindu itu berangkat menuju Loksado, Peg.Meratus. Kami berada di sana selama 4 hari untuk merasakan dan mengalami sendiri kehidupan para penganut Kaharingan di desa Malaris dan komunitas Dayak penganut Kaharingan, Kristen dan Islam di desa Muara Ulang peg. Meratus. Hal yang menarik dari perjumpaan ini adalah ketika para pemuda lintas iman ini tersadar bahwa agama dalam konstruksi Indonesia ternyata ada banyak ragamnya, bukan hanya 6 agama yang selalu diakui oleh masyarakat negara, tetapi juga ada agama rakyat seperti Kaharingan dan beratus lainnya tersebar di seluruh Nusantara. Kebersamaan ini kemudian diperteguh dengan mengunjungi dan mengalami kehidupan sehari-hari masyarakat peg.Meratus yang mayoritas penganut Kaharingan itu. Malam pertama dan kedua.kami tinggal di rumah panjang atau balai adat Kaharingan Malaris dan menikmati kesederhanaan tidur beralaskan tikar....lalu ramai-ramai mandi di sungai.....luar biasa. Setelah dua malam berada dengan masyarakat Malaris, kami kemudian bergerak bersama mereka menuju Desa Muara Ulang dengan menggunakan Lanting atau Rakit Bambu. Acara ini dikemas dengan gaya anak muda yaitu 'rafting'. Tiap rakit dihuni oleh 2-4 orang beragam agama termasuk 2 orang joki dari Malaris yang notabene adalah penganut Kaharingan. Perjalanan lintas alam ini sungguh membuka ruang kemanusiaan kami bahwa dalam ketulusan dan persahabatan ternyata Tuhan begitu dekat tanpa harus mempersoalkan agama siapa yang paling benar......Di desa Muara Ulang, masyarakat begitu antusias menyambut kami. Di balai adat mereka kami juga tidur beramai-ramai, penuh dengan makanan sehat....dan mengadakan dialog interaktif dengan mereka. Di Muara Ulang 80% penganut Kaharingan, 15% Kristen dan 5 % Islam. Mereka hidup berdampingan secara damai. Ada beberapa kata kunci yang dilontarkan oleh mereka: Kekeluargaan, Saling menerima perbedaan, dan mereka menjaga alamnya sebagai peramu dan pengelola Hutan.... Persoalan yang mengganjal adalah:
*Hak sipil administrasi kependudukan sering menghambat untuk akses pendidikan, pekerjaan dan sumber daya.
* Masalah "Hutan Lindung" di mana masyarakat yang dulunya bebas memasuki kawasan ini, kini dibatasi  padahal itu adalah hutan inti dalam konstruksi kultur pengelola Hutan Masyarakat Meratus.
* Masalah Fungsi dari Persekutuan Adat yang sering disalah gunakan untuk kepentingan politik.
* Pendidikan bagi anak-anak Kaharingan yang  sering tersendat karena kekurangan guru serta  fasilitas yang jauh dari daerah pemukiman
Yah...ini sekedar catatan perjalananku ke Meratus....sebuah alam dan kemanusiaan yang belum tersentuh konflik dan politik penyeragaman.
KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN
PERSPEKTIF KRISTIANI
Catatan Pengantar Diskusi[1]
Oleh:
Pdt.Emmy Sahertian,MTh
Sek.Komisi Gereja dan Masyarakat
Synode Am Gereja Protestan di Indonesia
I.               Perempuan dalam perspektif Kristiani
Acuan kristiani tentang advokasi hak perempuan adalah pada  apa yang diberlakukan  Yesus. Ketika melalui proses “pemuridan”, Ia menempatkan perempuan setara dengan laki-laki. Hal ini terasa ketika Ia melakukan transformasi kultural  melalui  proses pembelajaran pendampingan orang-orang lemah, yang berbasis pada tafsir praktis nilai-nilai keimanan. Ia mencoba mempersoalkan keadilan dibalik hukum rajam keyahudian dengan membela seorang “perempuan yang dituduh berzinah”; Ia Membongkar kemapanan berpikir tentang domestikasi perempuan dalam kisah Maria dan Marta, Ia membongkar  stigma diri seorang perempuan Samaria yang sudah ditiduri oleh lebih dari satu laki-laki dengan mencoba memberi makna baru pada status sosial perempuan itu. Ia juga menempatkan perempuan paling banyak dalam konstelasi pemuridan, meskipun yang tercatat dalam penuturan Injil-Injil Sinoptik hanyalah 12 murid laki-laki,  tetapi  Ia memiliki lebih dari 70 murid yang kebanyakan perempuan. Apa yang dilakukan Yesus merupakan sebuah gerakan transformasi atas kemapanan peribadahan yang telah menyempitkan kemanusiaan  tempat yang seharusnya orang berkenalan langsung dengan kasih dan keadilan  Allah yang tidak terbatas itu.
Perjuangan ini tidak terlepas dari apa yang melatar belakangi kehidupan peribadahan saat itu yakni kuatnya pengaruh tradisi Yudaisme pada lapisan pertama yang di kemudian hari  berasimilasi dengan tradisi umat berlatar belakang  Yunani-Romawi pada lapisan kedua.
Pada lapisan pertama  ‘perempuan’  di gambarkan  sebagai sesama ciptaan Tuhan yang setara. Kata “Imago Dei” atau “Citra Tuhan” adalah manusia laki-laki dan perempuan.  Namun tradisi semitis yang patriarkhat menempatkan perempuan secara subordinatif dalam penerapan peribadahan dan dalam kehidupan sehari-hari yakni degradasi keberadaan perempuan dari “mahkota ciptaan” menjadi “penolong” atau dalam metafora yang sangat  diskriminatif “tulang rusuk laki-laki”.  Dalam sejarah peribadahan, perempuan  tidak mempunyai posisi sentral   fungsi jabatan  imamat, atau pemimpin ibadah, kecuali  secara karismatik dalam fungsi nabi (nabiah) yang tugasnya untuk bernubuat. Posisinya baru diakui apabila kondisi darurat, ketika umat harus mengahadapi berbagai tantangan dan ancaman misalnya dalam peperangan atau darurat politik seperti pembebasan dari perbudakan di Mesir. Dalam kehidupan domestik ada beberaqpa fungsi penting misalnya sebagai “Istri”, “pembantu”,”budak”. 
Pada lapisan kedua di mana konteks tradisi kitab dan surat-surat pastoral Perjanjian Baru merupakan asimilasi tradisi Yudaisme dan Yunani-Romawi, menampilkan adanya sebuah upaya transformasi posisi perempuan dengan pusat pemberitaan pada Yesus, di mana posisi perempuan dijadikan setara dalam proses ‘pemuridan Yesus. Sayangnya penulisan sejarah pelayanan yesus dibuat dalam bentuk ‘kesaksian” atau “pemberitaan” dan didandani  dalaqm perpaduan tradisi tersebut yang mengambangkan posisi perempuan. Hal ini kelihatan sekali dalam etika kehidupan berkeluarga. Ungkapan “istri harus tunduk pada suami sebagai kepala keluarga, dan suami harus hormati istrinya”  menunjukan ketegangan posisi tersebut. Antara kata “tunduk”  bagi istri dan ‘hormat’ bagi suami dalam konteks penulisan surat pastoral abad Sesudah Masehi merupakan kemajuan  besar, suatu proses untuk menurunkan posisi laki-laki yang otoriter penuh. Di masa depan ketika ayat-ayat ini harus ditafsir dalam konteks masyarakat patriakhi  maka perempuanlah yang ditekan dan otoritas laki laki menjadi tidak terkendali  dimulai dari lingkup peribadahan   dimana otoritas patriakhis disakralkan  kemudian  merasuk ke dalam konteks sosio-kultural.
II.            Kekerasan Terhadap Perempuan
·         Kontribusi agama : Ambiguitas  konsep yang berdampak pada standar ganda advokasi korban.
Yang paling mendasar dan yang menjadi pengalaman berabad-abad adalah pada penerapan tradisi keagamaan dalam peraturan peribadahan. Konsep kesetaraan jender dalam kisah  penciptaan diperhadapkan secara ambigu dengan  Istilah-istilah subordinatif seperti :”tulang rusuk”,”penolong”, “perempuan milik keluarga” atau pada formulir pernikahan seperti : “tunduk kepada suami”, “apa yg sudah dipersatukan Tuhan tidak boleh diceraikan manusia” merupakan idiom tradisi keagamaan yang menghimpit kemanusiaan perempuan untuk menjadi dirinya sendiri. Konsep konsep ini disakralkan dan amat mempengaruhi sebagaian besar perilaku bias jender yang berdampak pada “kekerasan” yang diakui. Yang memprihatinkan adalah bahwa konsep-konsep ini tumbuh subur dalam kehidupan sosial  kultural umat, 
Beberapa kasus  kekerasan dalam Rumah Tangga yang manifestnya pada kekerasan pisik mengacu kepada ungkapan-ungkapan di atas, yang kemudian  dimanfaatkan untuk menjaga kewibawaan agama, sehingga kebisuan konspiratif ini justru menambah daftar kekerasan berbasis keimanan. Banyak perempuan yang menjadi korban kekerasan menjadi tidak berdaya untuk memperjuangkan haknya. Bila terpaksa harus bercerai, maka ungkapan-ungkapan di atas membuat mereka menghentikan langkah perjuangan untuk membebaskan diri dari lingkaran kekerasan sistemik tersebut, karena perceraian  dalam pemahaman merupakan ‘dosa’ atau melanggar amanat Tuhan yang telah mempersatukan mereka. Beberapa gereja protestan mulai menyadari akan fakta kekerasan dalam rumah tangga yang terangkat ke permukaan sebagai kriminal terhadap kemanusiaan sehingga perlu diadvokasi melalui jalur hukum di mana “perceraian” dimungkinkan sebagai pilihan paling bijaksana dari kondisi kekerasan  yang paling buruk (Domestic Crime). Namun belum semua gereja kristen  sependapat sehingga berdampak pada standar ganda advokasi korban.
·         Kontribusi sosial kultural
Kondisi sosio-kultural terbangun karena dibentuk untuk menjawab interaksi kehidupan bersama dalam suatu konteks atau kawasan bermukim bersama. Di sini posisi perempuan sebagai bagian dari medium utama kehidupan berkeluarga amat penting. Pada masyarakat yang laki-laki dominan,  perempuan selalu dijadikan medium reproduksi untuk memelihara  klan, ia juga bisa menjadi medium produktif bila keluarga atau masyarakat dalam keadaan krisis, ia bisa dimanfaatkan  menjadi medium  untuk melobby dan memediasi sumber daya dan kekuatan atau kekuasaan.
·         Kontribusi Negara
Tantangan terbesar adalah transformasi kebijakan negara berbasis jender masih memprihatinkan. Kebanyakan kebijaqkan itu bias jender baik dalam kebijakan berupa produk hukum maupun rancangan pembangunan. Lahirnya UU PKDRT,Perlindungan Anak,Anti Trafficking mestinya bisa dijadikan kesempatan  untuk merekonstruksikan masyarakat yang bias jender menjadi sebuah kesadaran bersama yang selanjutnya menciptakan kultur keadilan jender dalam masyarakat. Namun pertanyaan besar dengan diloloskannya UU no.44/2008 tentang pornografi menambah panjang  langkah perjuangan perempuan di Indonesia.
III.           Beberapa program  yang sedang berlangsung
Gerakan transformasi simultan  tiga aras penting, yakni agama,sosio-kultural dan kebijakan negara sedang berproses, perlu didorong lebih gencar.
Dalam Gereja, kami memulai dari rekonstruksi teologis yang dituangkan secara struktural pada program di aras nasional, wilayah maupun pada level lokal. Pada level-level ini ada “desk” yang melihat dan merancang program secara kategorial perempuan, laki-laki, anak, remaja dan pemuda, juga ada lansia. Memang prosentasi kegiatan terbesar baru pada tataran ritual. Namun sudah mulai ada upaya progresif dari kelompok teologi feminis yang mensosialisasikan program “membaca Kitab Suci melalui mata baru (perempuan)” yang cukup berhasil dan menjaring aktivis dari berbagai kalangan termasuk kaum laki-laki. Di harapkan  gerakan ini akan ikut  merekonstruksi sosio-kultural masyarakat yang tidak lain adalah umat itu sendiri. Pada tataran praktis beberapa pusat pendampingan perempuan yang dilakukan baik dalam bentuk gerakan LSM maupun dalam program gereja sudah ada meskipun terbentur pada belum meratanya pemahaman teologik tentang jender dan keadilan jender. Dalam tataran ini upaya pengembangan jaringan lintas sektor, lintas agama untuk advokasi gencar dilakukan. 
Semoga upaya ini terus berjalan……….
[1] Disampaikan dalam Lunching Nasional We Can End All Violence Against Women: “Hidup Terhormat     tanpa Kekerasan Terhadap Perempuan”,21 Maret 2009