KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN
PERSPEKTIF KRISTIANI
Catatan Pengantar Diskusi
Oleh:
Pdt.Emmy Sahertian,MTh
Sek.Komisi Gereja dan Masyarakat
Synode Am Gereja Protestan di Indonesia
I. Perempuan dalam perspektif Kristiani
Acuan kristiani tentang advokasi hak perempuan adalah pada apa yang diberlakukan Yesus. Ketika melalui proses “pemuridan”, Ia menempatkan perempuan setara dengan laki-laki. Hal ini terasa ketika Ia melakukan transformasi kultural melalui proses pembelajaran pendampingan orang-orang lemah, yang berbasis pada tafsir praktis nilai-nilai keimanan. Ia mencoba mempersoalkan keadilan dibalik hukum rajam keyahudian dengan membela seorang “perempuan yang dituduh berzinah”; Ia Membongkar kemapanan berpikir tentang domestikasi perempuan dalam kisah Maria dan Marta, Ia membongkar stigma diri seorang perempuan Samaria yang sudah ditiduri oleh lebih dari satu laki-laki dengan mencoba memberi makna baru pada status sosial perempuan itu. Ia juga menempatkan perempuan paling banyak dalam konstelasi pemuridan, meskipun yang tercatat dalam penuturan Injil-Injil Sinoptik hanyalah 12 murid laki-laki, tetapi Ia memiliki lebih dari 70 murid yang kebanyakan perempuan. Apa yang dilakukan Yesus merupakan sebuah gerakan transformasi atas kemapanan peribadahan yang telah menyempitkan kemanusiaan tempat yang seharusnya orang berkenalan langsung dengan kasih dan keadilan Allah yang tidak terbatas itu.
Perjuangan ini tidak terlepas dari apa yang melatar belakangi kehidupan peribadahan saat itu yakni kuatnya pengaruh tradisi Yudaisme pada lapisan pertama yang di kemudian hari berasimilasi dengan tradisi umat berlatar belakang Yunani-Romawi pada lapisan kedua.
Pada lapisan pertama ‘perempuan’ di gambarkan sebagai sesama ciptaan Tuhan yang setara. Kata “Imago Dei” atau “Citra Tuhan” adalah manusia laki-laki dan perempuan. Namun tradisi semitis yang patriarkhat menempatkan perempuan secara subordinatif dalam penerapan peribadahan dan dalam kehidupan sehari-hari yakni degradasi keberadaan perempuan dari “mahkota ciptaan” menjadi “penolong” atau dalam metafora yang sangat diskriminatif “tulang rusuk laki-laki”. Dalam sejarah peribadahan, perempuan tidak mempunyai posisi sentral fungsi jabatan imamat, atau pemimpin ibadah, kecuali secara karismatik dalam fungsi nabi (nabiah) yang tugasnya untuk bernubuat. Posisinya baru diakui apabila kondisi darurat, ketika umat harus mengahadapi berbagai tantangan dan ancaman misalnya dalam peperangan atau darurat politik seperti pembebasan dari perbudakan di Mesir. Dalam kehidupan domestik ada beberaqpa fungsi penting misalnya sebagai “Istri”, “pembantu”,”budak”.
Pada lapisan kedua di mana konteks tradisi kitab dan surat-surat pastoral Perjanjian Baru merupakan asimilasi tradisi Yudaisme dan Yunani-Romawi, menampilkan adanya sebuah upaya transformasi posisi perempuan dengan pusat pemberitaan pada Yesus, di mana posisi perempuan dijadikan setara dalam proses ‘pemuridan Yesus. Sayangnya penulisan sejarah pelayanan yesus dibuat dalam bentuk ‘kesaksian” atau “pemberitaan” dan didandani dalaqm perpaduan tradisi tersebut yang mengambangkan posisi perempuan. Hal ini kelihatan sekali dalam etika kehidupan berkeluarga. Ungkapan “istri harus tunduk pada suami sebagai kepala keluarga, dan suami harus hormati istrinya” menunjukan ketegangan posisi tersebut. Antara kata “tunduk” bagi istri dan ‘hormat’ bagi suami dalam konteks penulisan surat pastoral abad Sesudah Masehi merupakan kemajuan besar, suatu proses untuk menurunkan posisi laki-laki yang otoriter penuh. Di masa depan ketika ayat-ayat ini harus ditafsir dalam konteks masyarakat patriakhi maka perempuanlah yang ditekan dan otoritas laki laki menjadi tidak terkendali dimulai dari lingkup peribadahan dimana otoritas patriakhis disakralkan kemudian merasuk ke dalam konteks sosio-kultural.
II. Kekerasan Terhadap Perempuan
· Kontribusi agama : Ambiguitas konsep yang berdampak pada standar ganda advokasi korban.
Yang paling mendasar dan yang menjadi pengalaman berabad-abad adalah pada penerapan tradisi keagamaan dalam peraturan peribadahan. Konsep kesetaraan jender dalam kisah penciptaan diperhadapkan secara ambigu dengan Istilah-istilah subordinatif seperti :”tulang rusuk”,”penolong”, “perempuan milik keluarga” atau pada formulir pernikahan seperti : “tunduk kepada suami”, “apa yg sudah dipersatukan Tuhan tidak boleh diceraikan manusia” merupakan idiom tradisi keagamaan yang menghimpit kemanusiaan perempuan untuk menjadi dirinya sendiri. Konsep konsep ini disakralkan dan amat mempengaruhi sebagaian besar perilaku bias jender yang berdampak pada “kekerasan” yang diakui. Yang memprihatinkan adalah bahwa konsep-konsep ini tumbuh subur dalam kehidupan sosial kultural umat,
Beberapa kasus kekerasan dalam Rumah Tangga yang manifestnya pada kekerasan pisik mengacu kepada ungkapan-ungkapan di atas, yang kemudian dimanfaatkan untuk menjaga kewibawaan agama, sehingga kebisuan konspiratif ini justru menambah daftar kekerasan berbasis keimanan. Banyak perempuan yang menjadi korban kekerasan menjadi tidak berdaya untuk memperjuangkan haknya. Bila terpaksa harus bercerai, maka ungkapan-ungkapan di atas membuat mereka menghentikan langkah perjuangan untuk membebaskan diri dari lingkaran kekerasan sistemik tersebut, karena perceraian dalam pemahaman merupakan ‘dosa’ atau melanggar amanat Tuhan yang telah mempersatukan mereka. Beberapa gereja protestan mulai menyadari akan fakta kekerasan dalam rumah tangga yang terangkat ke permukaan sebagai kriminal terhadap kemanusiaan sehingga perlu diadvokasi melalui jalur hukum di mana “perceraian” dimungkinkan sebagai pilihan paling bijaksana dari kondisi kekerasan yang paling buruk (Domestic Crime). Namun belum semua gereja kristen sependapat sehingga berdampak pada standar ganda advokasi korban.
· Kontribusi sosial kultural
Kondisi sosio-kultural terbangun karena dibentuk untuk menjawab interaksi kehidupan bersama dalam suatu konteks atau kawasan bermukim bersama. Di sini posisi perempuan sebagai bagian dari medium utama kehidupan berkeluarga amat penting. Pada masyarakat yang laki-laki dominan, perempuan selalu dijadikan medium reproduksi untuk memelihara klan, ia juga bisa menjadi medium produktif bila keluarga atau masyarakat dalam keadaan krisis, ia bisa dimanfaatkan menjadi medium untuk melobby dan memediasi sumber daya dan kekuatan atau kekuasaan.
· Kontribusi Negara
Tantangan terbesar adalah transformasi kebijakan negara berbasis jender masih memprihatinkan. Kebanyakan kebijaqkan itu bias jender baik dalam kebijakan berupa produk hukum maupun rancangan pembangunan. Lahirnya UU PKDRT,Perlindungan Anak,Anti Trafficking mestinya bisa dijadikan kesempatan untuk merekonstruksikan masyarakat yang bias jender menjadi sebuah kesadaran bersama yang selanjutnya menciptakan kultur keadilan jender dalam masyarakat. Namun pertanyaan besar dengan diloloskannya UU no.44/2008 tentang pornografi menambah panjang langkah perjuangan perempuan di Indonesia.
III. Beberapa program yang sedang berlangsung
Gerakan transformasi simultan tiga aras penting, yakni agama,sosio-kultural dan kebijakan negara sedang berproses, perlu didorong lebih gencar.
Dalam Gereja, kami memulai dari rekonstruksi teologis yang dituangkan secara struktural pada program di aras nasional, wilayah maupun pada level lokal. Pada level-level ini ada “desk” yang melihat dan merancang program secara kategorial perempuan, laki-laki, anak, remaja dan pemuda, juga ada lansia. Memang prosentasi kegiatan terbesar baru pada tataran ritual. Namun sudah mulai ada upaya progresif dari kelompok teologi feminis yang mensosialisasikan program “membaca Kitab Suci melalui mata baru (perempuan)” yang cukup berhasil dan menjaring aktivis dari berbagai kalangan termasuk kaum laki-laki. Di harapkan gerakan ini akan ikut merekonstruksi sosio-kultural masyarakat yang tidak lain adalah umat itu sendiri. Pada tataran praktis beberapa pusat pendampingan perempuan yang dilakukan baik dalam bentuk gerakan LSM maupun dalam program gereja sudah ada meskipun terbentur pada belum meratanya pemahaman teologik tentang jender dan keadilan jender. Dalam tataran ini upaya pengembangan jaringan lintas sektor, lintas agama untuk advokasi gencar dilakukan.
Semoga upaya ini terus berjalan……….
Disampaikan dalam Lunching Nasional We Can End All Violence Against Women: “Hidup Terhormat tanpa Kekerasan Terhadap Perempuan”,21 Maret 2009